Selasa, 02 Juli 2013

hukum indonesia



 “WAJAH SURAM HUKUM INDONESIA”

Potret penegakkan hukum di Indonesia kini mulai jauh dari rasa keadilan. Dalam praktiknya, hukum hanya bertaring pada rakyat kecil yang lemah. Sementara, berhadapan dengan penguasa atau elit yang bertahta, hukum kita melempem jika tidak ingin dikatakan tumpul sama sekali.
Sudah bukan rahasia umum, di negeri ini ada banyak pejabat yang terlibat skandal hukum, dari mafia peradilan, korupsi, menjadi makelar kasus—namun komitmen penegak hukum kita terhadap kasus-kasus tersebut masih jauh dari harapan. Artinya, keterlibatan pejabat negara terhadap penyimpangan hukum tidak ditindak secara adil.
Lain hal, jika pelanggaran hukum dilakukan rakyat kecil. Dalam kasus ini, hukum benar-benar ditegakkan. Seorang nenek yang mengambil biji coklat diberi sangsi hukum hingga bertahun-tahun. Hal yang sama berlaku bagi pencuri ayam yang mendapat hukuman yang tidak ringan. Sementara, politisi, elit pemerintahan, anggota DPR, MPR, Menteri, Gubernur, Bupati—bila terbukti bersalah, hukum begitu elastis. Dengan bahasa lain, jika mereka (baca: pejabat negara) terlibat kasus yang merugikan negara, hukum seperti karet.
Begitulah praktik hukum yang berjalan selama ini di bangsa kita. Keadilan hanya milik penguasa. Dan rakyat kecil selalu dizhalimi (penegak) hukum. Benar kata para kritikus hukum bahwa hukum kita masih melihat bulu. Dalam arti, siapa yang terlibat kasus hukum akan mempengaruhi keputusan hukum. Hukum adil bagi penguasa. Sebaliknya hukum merugikan rakyat biasa. Inilah persoalan klise (umum) hukum di Indonesia. Dengan bahasa lain, keberpihakkan hukum pada kaum penguasa masih langgeng di atas rezim kelompok elit di bangsa ini. Di lain sisi, hukum justru “menindas” kaum yang lemah yang miskin, uang, jaringan, dan kuasa.
Realitas hukum yang berjalan ini, mendedahkan pertanyaan fundamental. Ada apa sesungguhnya dengan hukum kita? Dalam kerangka itu, konteks filosofis, historis, sosiologis, politis dan bahkan budaya hukum di Indonesia sejatinya dapat ditilik secara kritis rasional. Tujuannya, supaya hukum kita dapat objektif dan benar-benar adil bagi semua golongan tanpa melihat bulu.
Untuk mencapai tujuan itu, Pergerakan Mahsiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Yogyakarta melalui kegiatan Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) 2011, berupaya menilik praktik hukum yang berjalan selama ini di Indonesia. Dengan harapan, benang kusut hukum dapat diurai demi keadilan bagi semua.
  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar