Senin, 16 November 2015

istishab dalam konteks sosial.



`BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman.
Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.










B.  BATASAN MASALAH
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak melebar, maka penulis membatasi beberapa pembahasan, diantaranya adalah pengertian istishab kemudian macam-macam istishab serta di kembangkan dengan beberap dalil atau kehujahan istishab di tinjau dari berbagai perspektif

C. RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian istishab?
  2. Jelaskan macam-macam istishab dan contohnya?
  3. Apa kehujjahan istishab?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN
            Istishab menurut etimology adalah طلب المصاحبة واستمرارها  (menjalin dan meneruskan persahabatan). Istishab menurut epistemology adalah meneruskan  hukum yang sudah ada, atau tidak memberlakukan hukum yang belum ada.[1]atau bisa di katakan suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah :
Imam Al Ghozali[2] memberi pengertian bahwasannya istishab adalah berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak adanya dalil, tetapi karena hasil pembahasan dan penelitian cermat menyatakan bahwa tidak ada dalil lain yang mengubah hukum yang telah ada.[3]
AlQarafy (w. 486H) seorang ulama Malikiyah mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
 Ibnu Hazm (tokoh ushul fiqh madzhab Zahiri) mendefinisikan dengan; berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash,-baik Al quran atau hadist- sampai ada dalil lain yang menunjukan perubahan hukum tersebut.[4] Imam as Syaukani dalam kitabnya Irsyad al Fuhul mengemukakan definisi bahwasannya  istishab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.[5]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah ( ulama hanabila )
 Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya
Dari beberapa pengertian diatas pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang ataupun yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang merubah hukum itu.
Contoh istishab : apabila minggu yang lalu, kita mengetahui bahwasannya Moh. Ridlo main ke rumah Iwan (masih hidup). Kemudian keluarganya mencarinya, maka kita harus memberlakukan hukum bahwasannya Ridlo masih hidup, sampai adanya bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
Contoh lain seperti; jika Sunomo mengawini Rita (perawan), kemudian setelah dukhul (hubungan intim), Sunomo menuduh kalau Rita tidaklah perawan sebelum kawin. Maka tuduhan Sunomo tidak dibenarkan sebelum adanya bukti yang menguatkan atas tuduhan tersebut. Hukum ini merupakan istishab terhadap sifat keperawanan Rita. Karena keperawanan Rita merupakan asal sejak pertama lahir.[6]
B.     MACAM-MACAM ISTSHAB
a.       Istishab hukum al-ibahah al-asliyyah lil asy-ya. Maksudnya adalah menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal; seluruh pepohonan dihutan merupakan milik bersama-umat manusia- dan setiap orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan hutannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. Dalam kaitan ini, alasan yang dikemukakan adalah firman Allah :
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu
Artinya;”Dialah,Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu”. Kata لكم (untuk kamu) dalam ayat itu menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada dibumi.[7] Dasar lain yang digunakan untuk bagian ini adalah ; قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق (al-A’raf;32). Artinya ;”katakanlah: siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik”. dari ayat ini bisa kita fahami bahwasannya Allah SWT menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik adalah hak setiap orang. Istishab seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.[8]
b.      Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil yang menasakhnya.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Allah SWT menjelaskan:
bahwa manusia wajib menafkahkan seluruh hasil usaha dan seluruh yang diperoleh melalui pengekploitasian sumber daya alam. Kalimat “nafkah” tersebut, menurut kesepakatan  Ulama ushul fiqh bersifat umum, karena nafkah wajib meliputi zakat, nafkah keluarga dan nafkah kaun kerabat. Kalimat “hasil usaha” disinipun bersifat umum, meliputi seluruh jenis hasil usaha dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut sebagian Ulama ushul fiqh tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan ini dinamakan istishab.
Akan tetapi menurut sebagian Ulama ushul fiqh lainnya, seperti Imam Abu al-Ma’ali al- Juaini (madzhab Syafi’i), Imam Muhammad bin Aly Asy-Syaukani mengatakan hal ini bukan merupakan istishab, melainkan berdalih berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya[9]. Contoh istishab nash selama tidak ada yang menasakhnya adalah kewajiban bepuasa dalam surat al-baqarah ayat 183. kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat diatas, selama tidak ada nas lain yang membatalkannya[10]
c.       Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus. Ibnu Qoyyim al-Jauziah (ahli ushul fiqh madzhab Hambali) menyebutnya dengan “sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukun yang berbeda dengan itu”.[11] Misalnya, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yakni akad, sampai ada sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah kepada orang lain. Contoh hukum wudlu seseorang yang sudah berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila ia ragu apakah wudlunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan istishab wudlunya tetap ada. Karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan kenyakinan seseorang bahwa ia telah berwudlu.
d.      Istishab al-bara’ah al-ashliyyah (kebebasan dasar), yakni umat manusia terbebas dari kewajiban-kewajiban syar’iy, sampai ada dalil yang menunjukkan taklif atau sampai datangnya syara’, Anak kecil terbebas dari taklif sampai ia mencapai usia baligh. Orang yang buta hukum atau berasal di daerah musuh, terbebas dari taklif sampai ia melek hukum atau sampai berada didaerah Islam.[12] Contoh lain Apabila si A menuduh bahwasannya B memiliki hutang pada dirinya, maka A berkewajiban untuk mengemukakan bukti-bukti utang tersebut. Apabila A tidak sanggup mengemukakan alat bukti, maka B bebas dari tanggungan (tuntutan) dan B dinyatakan tidak pernah berutang pada A.
e.       Istishab terhadap hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak. Istishab ini dipersilisihkan Ulama tentang kehujahannya. Misalnya; Ulama fiqh berdasarkan ijmak menetapkan bahwa ketika air tidak ada, seseorang boleh bertayamum dan apabila shalatnya telah selesai ia kerjakan, maka shalatnya sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat air, timbul perbedaan apakah shalatnya ia batalkan untuk kemudian melakukan wudlu ataukah ia teruskan?
      Menurut Syafi’i dan Maliki orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada ijmak yang mengatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijmak itu tetap berlaku sampai ada dalil yang mengatakan bahwa “ apabila orang yang bertayamum melihat air pada waktu shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya.”
      Akan tatapi Ulama Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya. Mereka beralasan karena ijmak itu hanya terkait dengan sahnya shalat bagi orang yang tidak menemukan air, bukan dalam keadaan adanya air.[13]

C.    KEHUJAHAN ISTISHAB
            Berbeda dari sumber hukum yang lain, istishab didasarkan atas “persangkaan kuat” bahwa kontinuitas hukum asal tetap berlaku terus sampai ada dalil yang merubahnya. Oleh karena itu, sumber hukum ini tidak dapat dipandang sebagai dalil yang kuat untuk istinbath hukum.[14]
Dalam hal ini, imam al Khawarizmi berkata; istishab merupakan alternative terakhir untuk fatwa. Seorang mufti jika ditanya suatu masalah, maka ia secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Quran, sunnah, ijmak dan qiyas. Apabila dari keempat sumber hukum tersebut tidak ditemukan hukumnya, maka ia baru menerapkan dalil istishab.
Oleh sebab itu, seorang mufti apabila menghadapi masalah yang diragukan adalah زوال (masih atau tidak adanya suatu perkara), maka yang asal adalah tetapnya perkara tersebut. Misalkan ragu antara masih punya wudlu atau tidaknya, maka yang asal adalah ia masih memiliki wudlu. Contoh lain apabila seorang wanita diragukan masih perawan atau tidaknya, maka yang asal adalah ia masih perawan sampai ada dalil yang merubah sifat keperawanannya. Akan tetapi apabila yang diragukan adalah ثبوت  (tetap atau tidaknya satu perkara), maka yang asal adalah hilang atau tidak adanya perkara tersebut.[15] Contonya; seseorang ragu punya wudlu atau tidak, maka yang asal ia tidak memiliki wudlu. Dalam masalah kepemilikan misalnya; Iwan mengaku kalau sepeda milik Budi sudah menjadi milik dirinya. Hal ini diragukan antara sudah pindah kepemilikan sepeda dari Iwan ke Budi atau belum. Menurut asal adalah belum atau tidak pindahnya sifat kepemilikan tersebut, sampai ada dalil yang menyatakan hilang atau pindahnya sifat kepemilikan. Karena pada asal/dasarnya manusia (Budi dalam contoh ini) adalah bebas tanggungan dari kewajiban/tuntutan.

Istishab diterima sebagai sumber hukum bisa dilihat dari segi syara’ maupun akal. Dari segi syara’, disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dalil yang ada sampai ada dalil yang merubahnya. Semisal anggur yang memabukkan, berdasarkan ketetapan syara’ adalah minuman haram kecuali apabila telah berubah sifatnya, yakni sifat isykar (memabukkan) karena berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dari segi logika, akal sehat dengan mudah menerima dan mendukung penggunaan istishab. Dapat dikemukakan beberapa contoh berikut ini:
            1.      Seseorang yang adil tidak boleh dituduh telah fasiq, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas kefasiqannya. Yakni sampai orang yang bersangkutan benar-benar berperilaku yang berlawanan dari sifat adil.
         2.         Apabila seseorang sebelumnya diketahui masih hidup, maka ia tidak bisa dihukumi telah meninggal kecuali apabila ada bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
         3.         Apabila Iwan adalah pemilik suatu barang, maka hak milik itu tidak berpindah ketangan orang lain kecuali adanya bukti. Dan masih banyak contoh lain yang berdasar istishab.[16]
D. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEHUJAHAN ISTISHAB
            Para ulama ushul fiqih, seperti di kemukakan Muhammad azhrah, sepakat bahwa beberapa macam istishab bisa di jadikan landasan hukum kecuali istihab al-wasf, dalam hal ini ada perbadaan pendapat ada dua pendapat :
  1. Kalangan hanabila dan syafiiyyah berpendapat bahwa istishab al wasf dapat di jadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya seseorng yang hilang tidak tahu tempatnya tetap di anggap hidup sampai terbukti bhwa ia telah wafat, oleh karena masih di anggap hidup maka berlaku baginya segala hal seperti orang yang masih hidup seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap kepunyaanya, dan jika ada ahlib warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
  2. Kalangan hanafiyyah dan malikkiyyah berpendapat, bahwa istishab al wasf hanya berlaku untuk memperthankan haknya yang sudah ada bukan menimbulkan hak yang baru. Dalam contih diatas orang yang hilang itu meskipun ia masih di anggap hidup yang dengan itu istrinya masih di anggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya di bandingkan dengan waktu wafatnya ahli warisnya maka kadar pembagiannya yang di simpan tersebut di bagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaanya masih hidup semata-mata di dasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang.[17] Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.[18]
            Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Artinya, istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul.
            Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya.[19]



E..KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG TERMASUK DALAM ISTISHAB.
            Ulama fiqh menetapkan beberapa kaidah yang didasarkan pada istishab, diantaranya adalah;
;             الأصل بقاء ماكان علي ما كان,حتي يثبت ما يغيره
Maksudnya adalah pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya seperti kasus orang hilang diatas. Ia tetap dihukumi masih hidup sampai ada dalil yang menunjukkan atas kematiannya.
;    الأصل في الأشياء الإباحة
Maksudnya adalah pada dasarnya hal-hal yang bersifat bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/transaksi dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan atas batalnya. Sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya, maka hukumnya boleh-boleh aja deh.
;          الأصل في الذمة البراءة من التكالف والحقوق
Maksudnya adalah pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh karana itu, seorang tergugat dalam masalah apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan menyakinkan bahwa ia bersalah.
;          اليقين لا يزال بالشك
Maksudnya adalah suatu kenyakinan tidak bisa dibatalkan oleh suatu yang diragukan. Atas dasar kaidah ini, maka seseorang yang telah wudlu apabila merasa ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia berpegang pada kenyakinannya bahwa ia belum batal. Contoh lain apabila seseorang makan sahur di akhir malam, kemudian ia ragu apakah sudah terbit fajar ataukah belum, maka dalam hal ini sahurnya diteruskan dan puasanya sah. Karena keyakinan bahwa hari masih malam lebih kuat dibanding keraguan bahwa fajar telah terbit.
Akan tetapi Ulama madzhab Maliki mengecualikan dalam masalah shalat. Menurut mereka apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka ia wajib berwudlu lagi.[20]


























BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas
Berdasarkan keterangan diatas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
           














DAFTAR PUSTAKA

1.     Efendi, Satri. Ushul Fiqh. Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
2.     Koto, Alauddin. Ilmu Fiqhi dan Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
3.     Yahya, Muhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Bandun : PT Al-Marif, 1986
4.     Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
5.     Dr. Abdul Karim Zaidan. Al wajiz fi Usul Al Fiqh. Baerut: Ledanon.1996. hlm 267
6.     Ensiklopedi Hukum Islam.
7.     Wahbah As Zuhaili Usul Fiqh Al Islami. Vol.2.Baerut: Lebanon.2001.889
8.     Muhammad Abu Zahrah. Ushul fiqih. Pustaka Firdaus: Pasar minggu.1999



[1] Dr. Abdul Karim Zaidan. Al wajiz fi Usul Al Fiqh. Baerut: Ledanon.1996. hlm 267
[2] ulama Ushul Fiqh Madzhab Syafi’i.
[3] Ensiklopedi Hukum Islam. Vol    775.
[4] Wahbah As Zuhaili Usul Fiqh Al Islami. Vol.2.Baerut: Lebanon.2001.889
[5] Muhammad Abu Zahrah. Ushul fiqih. Pustaka Firdaus: Pasar minggu.1999.hlm.451
[6] Dr. Abdul Karim Zaidan. Loc-cit.
[7] Wahbah as Zuhaili. Op-cit.890
[8] Ibid. 891
[9] Ensiklopedi Hukum Islam.Vol.II. 776
[10] Ibid
[11] Wahbah as Zuhaili. Op-cit. 891
[12] Muhammad Abu Zahra. Op-cit. 453
[13] Wahbah as Zuhaili. Op-cit. 894
[14] Ibid.
[15] Ibid. 889
[16] Mohammad Abu Zahra. Op-cit. 453.
[17] Wahbah as Zuhaili. Op-cit. 896
[18] Ensiklopedi Hukum Islam. Vol.II.  777
[19] Wahdah as Zuhaili. Op-cit. 897
[20] Ibid. 901

Tidak ada komentar:

Posting Komentar