`BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Tidak diragukan lagi bahwa
Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan
tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final.
Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format
Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif. Hal itu dibuktikan
dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang
membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang
berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman.
Secara kongkrit hal itu
ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam nash-nash yang
menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan pembukaan
jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara
tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang
tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang
“mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang
berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya
adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
B. BATASAN MASALAH
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak
melebar, maka penulis membatasi beberapa pembahasan, diantaranya adalah
pengertian istishab kemudian macam-macam istishab serta di kembangkan dengan
beberap dalil atau kehujahan istishab di tinjau dari berbagai perspektif
C.
RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak pada
uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan
masalah sebagai berikut:
- Apa pengertian istishab?
- Jelaskan macam-macam istishab dan contohnya?
- Apa kehujjahan istishab?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Istishab menurut etimology
adalah طلب المصاحبة واستمرارها (menjalin
dan meneruskan persahabatan). Istishab menurut epistemology adalah meneruskan hukum yang sudah ada, atau tidak
memberlakukan hukum yang belum ada.[1]atau
bisa di katakan suatu hukum yang telah
ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat
beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah :
Imam
Al Ghozali[2] memberi
pengertian bahwasannya istishab adalah berpegang pada dalil akal atau
syara’, bukan karena tidak adanya dalil, tetapi karena hasil pembahasan dan
penelitian cermat menyatakan bahwa tidak ada dalil lain yang mengubah hukum
yang telah ada.[3]
AlQarafy (w. 486H) seorang ulama Malikiyah mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Ibnu Hazm (tokoh ushul fiqh madzhab Zahiri)
mendefinisikan dengan; berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan
nash,-baik Al quran atau hadist- sampai ada dalil lain yang menunjukan
perubahan hukum tersebut.[4] Imam as Syaukani dalam kitabnya Irsyad
al Fuhul mengemukakan definisi bahwasannya
istishab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara
selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.[5]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (
ulama hanabila )
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang
pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya
hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama
tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab
adalah menetapkan berlakunya
Dari
beberapa pengertian diatas pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum-hukum
yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang ataupun yang
akan datang, selama tidak ada dalil lain yang merubah hukum itu.
Contoh
istishab : apabila minggu yang lalu, kita mengetahui bahwasannya Moh. Ridlo main
ke rumah Iwan (masih hidup). Kemudian keluarganya mencarinya, maka kita harus
memberlakukan hukum bahwasannya Ridlo masih hidup, sampai adanya bukti yang
menunjukkan atas kematiannya.
Contoh
lain seperti; jika Sunomo mengawini Rita (perawan), kemudian setelah dukhul (hubungan
intim), Sunomo menuduh kalau Rita tidaklah perawan sebelum kawin. Maka tuduhan
Sunomo tidak dibenarkan sebelum adanya bukti yang menguatkan atas tuduhan
tersebut. Hukum ini merupakan istishab terhadap sifat keperawanan Rita.
Karena keperawanan Rita merupakan asal sejak pertama lahir.[6]
B.
MACAM-MACAM ISTSHAB
a.
Istishab hukum al-ibahah
al-asliyyah lil asy-ya. Maksudnya adalah menetapkan hukum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Misal; seluruh pepohonan dihutan merupakan milik bersama-umat
manusia- dan setiap orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan hutannya,
sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
Dalam kaitan ini, alasan yang dikemukakan adalah firman Allah :
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
29.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu
Artinya;”Dialah,Allah,
yang menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu”. Kata لكم (untuk
kamu) dalam ayat itu menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada
dibumi.[7]
Dasar lain yang digunakan untuk bagian ini adalah ; قل
من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق (al-A’raf;32). Artinya ;”katakanlah: siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik”. dari
ayat ini bisa kita fahami bahwasannya Allah SWT menegaskan bahwa memanfaatkan
perhiasan dan mencari rizki yang baik adalah hak setiap orang. Istishab
seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum.[8]
b.
Istishab terhadap dalil
yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab
dengan nas selama tidak ada dalil yang menasakhnya.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr&
`ÏB ÏM»t6ÍhsÛ
$tB óOçFö;|¡2
!$£JÏBur
$oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$#
( wur
(#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB
tbqà)ÏÿYè?
NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/
HwÎ)
br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br&
©!$#
;ÓÍ_xî
îÏJym ÇËÏÐÈ
267. Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.
Allah
SWT menjelaskan:
bahwa
manusia wajib menafkahkan seluruh hasil usaha dan seluruh yang diperoleh
melalui pengekploitasian sumber daya alam. Kalimat “nafkah” tersebut, menurut
kesepakatan Ulama ushul fiqh bersifat
umum, karena nafkah wajib meliputi zakat, nafkah keluarga dan nafkah kaun
kerabat. Kalimat “hasil usaha” disinipun bersifat umum, meliputi seluruh jenis
hasil usaha dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut sebagian Ulama ushul
fiqh tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan ini
dinamakan istishab.
Akan
tetapi menurut sebagian Ulama ushul fiqh lainnya, seperti Imam Abu
al-Ma’ali al- Juaini (madzhab Syafi’i), Imam Muhammad bin Aly Asy-Syaukani
mengatakan hal ini bukan merupakan istishab, melainkan berdalih
berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang
umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang
mengkhususkannya”[9].
Contoh istishab nash selama tidak ada yang menasakhnya adalah kewajiban
bepuasa dalam surat al-baqarah ayat 183. kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan
yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan
ayat diatas, selama tidak ada nas lain yang membatalkannya[10]
c.
Istishab yang menurut akal dan
syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus. Ibnu Qoyyim al-Jauziah (ahli
ushul fiqh madzhab Hambali) menyebutnya dengan “sifat yang melekat pada
suatu hukum, sampai ditetapkan hukun yang berbeda dengan itu”.[11]
Misalnya, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus,
disebabkan adanya transaksi pemilikan, yakni akad, sampai ada sebab lain yang
menyebabkan hak milik itu berpindah kepada orang lain. Contoh hukum wudlu
seseorang yang sudah berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab
yang membatalkannya. Apabila ia ragu apakah wudlunya masih ada atau sudah
batal, maka berdasarkan istishab wudlunya tetap ada. Karena keraguan
yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan
kenyakinan seseorang bahwa ia telah berwudlu.
d.
Istishab al-bara’ah
al-ashliyyah (kebebasan dasar), yakni umat manusia terbebas dari
kewajiban-kewajiban syar’iy, sampai ada dalil yang menunjukkan taklif
atau sampai datangnya syara’, Anak kecil terbebas dari taklif sampai ia
mencapai usia baligh. Orang yang buta hukum atau berasal di daerah musuh,
terbebas dari taklif sampai ia melek hukum atau sampai berada didaerah
Islam.[12]
Contoh lain Apabila si A menuduh bahwasannya B memiliki hutang pada dirinya,
maka A berkewajiban untuk mengemukakan bukti-bukti utang tersebut. Apabila A
tidak sanggup mengemukakan alat bukti, maka B bebas dari tanggungan (tuntutan)
dan B dinyatakan tidak pernah berutang pada A.
e.
Istishab terhadap hukum
yang ditetapkan berdasarkan ijmak. Istishab ini dipersilisihkan Ulama
tentang kehujahannya. Misalnya; Ulama fiqh berdasarkan ijmak menetapkan
bahwa ketika air tidak ada, seseorang boleh bertayamum dan apabila shalatnya
telah selesai ia kerjakan, maka shalatnya sah. Akan tetapi apabila dalam
keadaan shalat ia melihat air, timbul perbedaan apakah shalatnya ia batalkan
untuk kemudian melakukan wudlu ataukah ia teruskan?
Menurut Syafi’i
dan Maliki orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada ijmak
yang mengatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air.
Mereka menganggap hukum ijmak itu tetap berlaku sampai ada dalil yang
mengatakan bahwa “ apabila orang yang bertayamum melihat air pada waktu
shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan
mengulangi shalatnya.”
Akan tatapi
Ulama Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa orang yang melakukan shalat dengan
tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk
kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya. Mereka beralasan karena ijmak
itu hanya terkait dengan sahnya shalat bagi orang yang tidak menemukan air,
bukan dalam keadaan adanya air.[13]
C.
KEHUJAHAN ISTISHAB
Berbeda dari sumber hukum yang lain,
istishab didasarkan atas “persangkaan kuat” bahwa kontinuitas hukum asal
tetap berlaku terus sampai ada dalil yang merubahnya. Oleh karena itu, sumber hukum
ini tidak dapat dipandang sebagai dalil yang kuat untuk istinbath hukum.[14]
Dalam
hal ini, imam al Khawarizmi berkata; istishab merupakan alternative
terakhir untuk fatwa. Seorang mufti jika ditanya suatu masalah, maka ia
secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Quran, sunnah, ijmak dan
qiyas. Apabila dari keempat sumber hukum tersebut tidak ditemukan hukumnya,
maka ia baru menerapkan dalil istishab.
Oleh
sebab itu, seorang mufti apabila menghadapi masalah yang diragukan
adalah زوال (masih atau tidak adanya suatu perkara), maka yang asal adalah
tetapnya perkara tersebut. Misalkan ragu antara masih punya wudlu atau
tidaknya, maka yang asal adalah ia masih memiliki wudlu. Contoh lain apabila
seorang wanita diragukan masih perawan atau tidaknya, maka yang asal adalah ia
masih perawan sampai ada dalil yang merubah sifat keperawanannya. Akan tetapi
apabila yang diragukan adalah ثبوت (tetap atau tidaknya satu perkara), maka yang
asal adalah hilang atau tidak adanya perkara tersebut.[15]
Contonya; seseorang ragu punya wudlu atau tidak, maka yang asal ia tidak
memiliki wudlu. Dalam masalah kepemilikan misalnya; Iwan mengaku kalau sepeda
milik Budi sudah menjadi milik dirinya. Hal ini diragukan antara sudah pindah
kepemilikan sepeda dari Iwan ke Budi atau belum. Menurut asal adalah belum atau
tidak pindahnya sifat kepemilikan tersebut, sampai ada dalil yang menyatakan
hilang atau pindahnya sifat kepemilikan. Karena pada asal/dasarnya manusia
(Budi dalam contoh ini) adalah bebas tanggungan dari kewajiban/tuntutan.
Istishab
diterima sebagai sumber hukum bisa dilihat dari segi syara’ maupun akal. Dari
segi syara’, disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dalil yang
ada sampai ada dalil yang merubahnya. Semisal anggur yang memabukkan,
berdasarkan ketetapan syara’ adalah minuman haram kecuali apabila telah berubah
sifatnya, yakni sifat isykar (memabukkan) karena berubah dengan
sendirinya menjadi cuka.
Dari
segi logika, akal sehat dengan mudah menerima dan mendukung penggunaan istishab.
Dapat dikemukakan beberapa contoh berikut ini:
1.
Seseorang yang adil tidak boleh
dituduh telah fasiq, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas
kefasiqannya. Yakni sampai orang yang bersangkutan benar-benar berperilaku yang
berlawanan dari sifat adil.
2.
Apabila seseorang sebelumnya diketahui
masih hidup, maka ia tidak bisa dihukumi telah meninggal kecuali apabila ada
bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
3.
Apabila Iwan adalah pemilik suatu
barang, maka hak milik itu tidak berpindah ketangan orang lain kecuali adanya
bukti. Dan masih banyak contoh lain yang berdasar istishab.[16]
D. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEHUJAHAN ISTISHAB
Para ulama ushul fiqih, seperti
di kemukakan Muhammad azhrah, sepakat bahwa beberapa macam istishab bisa di
jadikan landasan hukum kecuali istihab al-wasf, dalam hal ini ada perbadaan
pendapat ada dua pendapat :
- Kalangan hanabila dan syafiiyyah berpendapat bahwa istishab al wasf dapat di jadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya seseorng yang hilang tidak tahu tempatnya tetap di anggap hidup sampai terbukti bhwa ia telah wafat, oleh karena masih di anggap hidup maka berlaku baginya segala hal seperti orang yang masih hidup seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap kepunyaanya, dan jika ada ahlib warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
- Kalangan hanafiyyah dan malikkiyyah berpendapat, bahwa istishab al wasf hanya berlaku untuk memperthankan haknya yang sudah ada bukan menimbulkan hak yang baru. Dalam contih diatas orang yang hilang itu meskipun ia masih di anggap hidup yang dengan itu istrinya masih di anggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya di bandingkan dengan waktu wafatnya ahli warisnya maka kadar pembagiannya yang di simpan tersebut di bagi di antara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaanya masih hidup semata-mata di dasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
Ulama ushul fiqh
berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang
menjelaskan suatu kasus yang dihadapi Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin.
Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa
dijadikan dalil, karena hukum yang yang ditetapkan pada masa lampau juga
menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang.[17]
Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa
dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan
suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan
datang diperlukan dalil lain.[18]
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh
mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah
untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah
untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Artinya, istishab hanya
dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama
tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada
kasus yang baru muncul.
Pendapat yang terakhir dikemukakan
oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan
istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang
sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya.[19]
E..KAIDAH-KAIDAH
FIQH YANG TERMASUK DALAM ISTISHAB.
Ulama fiqh menetapkan beberapa
kaidah yang didasarkan pada istishab, diantaranya adalah;
;
الأصل بقاء ماكان علي ما كان,حتي يثبت ما يغيره
Maksudnya
adalah pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya
seperti kasus orang hilang diatas. Ia tetap dihukumi masih hidup sampai ada
dalil yang menunjukkan atas kematiannya.
;
الأصل في الأشياء الإباحة
Maksudnya
adalah pada dasarnya hal-hal yang bersifat bermanfaat bagi manusia hukumnya
adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/transaksi
dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan atas batalnya.
Sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya,
maka hukumnya boleh-boleh aja deh.
;
الأصل في الذمة البراءة من التكالف والحقوق
Maksudnya
adalah pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya
dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh karana itu, seorang
tergugat dalam masalah apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya
pembuktian yang kuat dan menyakinkan bahwa ia bersalah.
;
اليقين لا يزال بالشك
Maksudnya
adalah suatu kenyakinan tidak bisa dibatalkan oleh suatu yang diragukan. Atas
dasar kaidah ini, maka seseorang yang telah wudlu apabila merasa ragu apakah
sudah batal atau belum, maka ia berpegang pada kenyakinannya bahwa ia belum
batal. Contoh lain apabila seseorang makan sahur di akhir malam, kemudian ia
ragu apakah sudah terbit fajar ataukah belum, maka dalam hal ini sahurnya
diteruskan dan puasanya sah. Karena keyakinan bahwa hari masih malam lebih kuat
dibanding keraguan bahwa fajar telah terbit.
Akan
tetapi Ulama madzhab Maliki mengecualikan dalam masalah shalat. Menurut mereka
apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka ia wajib berwudlu lagi.[20]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu
hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya.
Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh-contoh di atas
Berdasarkan keterangan
diatas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka
hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya.
Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan antara
pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang
memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Efendi, Satri. Ushul
Fiqh. Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
2. Koto, Alauddin. Ilmu
Fiqhi dan Ushul Fiqih. Cet. 1; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
3. Yahya, Muhtar. Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqhi Islam. Bandun : PT Al-Marif, 1986
4. Effendi, Satria, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
5. Dr. Abdul Karim Zaidan. Al
wajiz fi Usul Al Fiqh. Baerut: Ledanon.1996. hlm 267
6. Ensiklopedi Hukum Islam.
7. Wahbah As Zuhaili Usul Fiqh Al
Islami. Vol.2.Baerut: Lebanon.2001.889
8. Muhammad Abu Zahrah. Ushul
fiqih. Pustaka Firdaus: Pasar minggu.1999
[1] Dr.
Abdul Karim Zaidan. Al wajiz fi Usul Al Fiqh. Baerut: Ledanon.1996. hlm
267
[2] ulama
Ushul Fiqh Madzhab Syafi’i.
[3]
Ensiklopedi Hukum Islam. Vol 775.
[4] Wahbah
As Zuhaili Usul Fiqh Al Islami. Vol.2.Baerut: Lebanon.2001.889
[5] Muhammad
Abu Zahrah. Ushul fiqih. Pustaka Firdaus: Pasar minggu.1999.hlm.451
[6] Dr.
Abdul Karim Zaidan. Loc-cit.
[7] Wahbah
as Zuhaili. Op-cit.890
[8] Ibid.
891
[9]
Ensiklopedi Hukum Islam.Vol.II. 776
[10] Ibid
[11] Wahbah
as Zuhaili. Op-cit. 891
[12]
Muhammad Abu Zahra. Op-cit. 453
[13] Wahbah
as Zuhaili. Op-cit. 894
[14] Ibid.
[15] Ibid.
889
[16]
Mohammad Abu Zahra. Op-cit. 453.
[17] Wahbah
as Zuhaili. Op-cit. 896
[18]
Ensiklopedi Hukum Islam. Vol.II. 777
[19] Wahdah
as Zuhaili. Op-cit. 897
[20] Ibid.
901
Tidak ada komentar:
Posting Komentar