Jumat, 20 November 2015

fikih lingkungan


FIKIH LINGKUNGAN
Oleh : Syamsul Falah, M.H.I

BAB I
PENDAHULUAN
                 
  A.    Latar Belakang
Rusaknya alam  yang di akibatkan bencana  semakian hari semakin dekat mengancam jiwa manusia. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan dan bayaknya virus dan penyakit merupakan fenomena yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan ozon (lubang ozon) pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu, seperti punahnya harimau jawa.[1] Krisis lingkungan ini pada gilirannya akan mengancam eksistensi bumi sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk lain.Umat Islam yang umumnya tinggal di negara-negara yang berkembang tidak luput dari ancaman krisis lingkungan ini, bahkan persoalan cenderung lebih kompleks.
Pasca kolonialisme dan imperialisme Barat negara-negara muslim berusaha bangkit menemukan identitas mereka. Masalahnya, sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan industrialisasi yang sangat tidak terkendali, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana yang akan menimpa.[2]
Jika diamati secara lebih cermat, menurut sebagian  pakar hukum Islam yang  peduli terhadap issue lingkungan[3] setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan  lahirnya kriris lingkungan ini. Pertama, permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung  bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.[4]
Kedua, permasalahan politik ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme,  negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan kemudian muncul ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia ketiga untuk mengambil peran positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama menetralisir kasus kebakaran hutan, sementara negara-negara miskin dan berkembang memandang Barat sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap krisis lingkungan global.
Ketiga, permasalahan- pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih terdapat golongan yang menganut pagam teologi yang bercorak teosentrik. Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan sebagainya sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan di artikan suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah lepas dari lingkungan. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh lingkungan sebagai penunjang kehidupan, baik lingkungan fisik, biologis, ataupun lingkungan sosial. Hubungan interaksi antara manusia dan lingkungan jika tidak berjalan dengan baik dan seimbang akan menimbulkan bahaya lingkungan yang selanjutnya menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan kesehatan lingkungan. Pengetahuan tentang hubungan antara jenis lingkungan sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan lingkungan secara tuntas. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Perkembangan kota yang cepat membawa dampak pada masalah lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota, sebaliknya lingkungan juga akan mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang bersih akan meningkatkan kualitas hidup. Perkembangan kota akan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah sosial dan lingkungan.[5]

Potret masalah lingkungan juga bisa terjadi di daerah-daerah maju seperti Kabupaten Tegal dimana kabupaten tegal merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.Ibu kotanya adalah Slawi, sekitar 14 km sebelah selatan Kota Tegal. Bagian utara wilayah Kabupaten Tegal merupakan dataran rendah.Di sebelah selatan merupakan pegunungan, dengan puncaknya Gunung Slamet (3.428 meter), gunung tertinggi di Jawa Tengah.Di perbatasan dengan Kabupaten Pemalang, terdapat rangkaian perbukitan yang tidak terlalu terjal.
Kategori atau karakteristik daerah yang terdiri dari tiga macam, yaitu dataran pantai, rendah, dan tinggi menjadikan Kabupaten Tegal memiliki kondisi lingkungan yang beraneka ragam dan unik.Keanekaragaman kondisi wilayah Kabupaten Tegal mempengaruhi aktivitas sehari-hari masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk Kabupaten Tegal yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerah tempat tinggalnya.Oleh karena itu, permalasahan kesehatan lingkungan baik sebagai dampak dari aktivitas manusia ataupun aktivitas alam juga sangat beraneka ragam.Permasalahan kesehatan lingkungan yang terdapat di Kabupaten Tegal yaitu sanitasi air bersih, persampahan, pencemaran udara, dan pembuangan limbah industri serta rencana pembangunan yang berdampak pada eksploitasi alam seperti eksploitasi hutan dan galian-galian yang tidak terkontrol sehingga berdampak pada kesimbangan sungai.[6]
Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenoeman sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam konteks krisis ekologis saat ini, fikih lingkungan menjadi sangat urgen. Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan itu adalah ibadah. Melalui fikih lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang diharamkan agama dan sebagainya.[7] Agama selama ini dipandang hanya berkutat pada ranah ritus dan simbol belaka dan cenderung mengabaikan realitas sosial yang tengah berkembang.[8] Ketika kemudian Islam dihubung-hubungkan dengan upaya pmeliharaan lingkungan, sebagian  orang memandang sebelah mata. Padahal umat Islam (ulâma) memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan menggunakan pendekatan fikih.[9]
Mengatasi krisis lingkungan yang kini sedang melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fikih lingkungan (fiqh al-bîah)[10], karena persoalan ekologi berkaitan dengan problem kemanusiaan secara keseluruhan. Fikih lingkungan (fiqh al-bîah) merupakan terobosan baru bagi upaya konservasi dan restorasi lingkungan hidup dengan perspektif keagamaan.
Perspektif ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam rangka konservasi dan restorasi lingkungan sebagai suplement bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada. Selanjutnya kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bîah dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[11] Oleh karenanya, fikih lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntutan syar'i yang konsen terhadap masalah-masalah ekologi atau tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap perilaku manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan eksploitatif. Di sini fikih lingkungan harus mengatur tentang kaidah baik-buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau buruk. Dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Qur’an dan Hadits dalam memandang  persoalan lingkungan hidup. Umat Islam sekaligus dapat meyakinkan dunia bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan dan terorisme dan tidak apatis terhadap persoalan lingkungan, tetapi ia memiliki view point yang berbasis al-Qur’an-al hadist mapun fikih untuk menyelesaikan persoalan lingkungan hidup[12]
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep fikih lingkungan?
2.    Bagaimana problem lingkungan hidup di Kabupaten Tegal?
3.    Bagaimana hukum menanggulangi problem lingkungan hidup di Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.    Penelitian ini bertujuan untuk :
a.    Mengetahui konsep fikih secara menyeluruh
b.    Mengetahui secara komprehensif problem lingkungan di Kabupaten Tegal
c.    Mengetahui hukum menanggulangi problem lingkungan di kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan?
2.    Di samping tujuan penelitian tersebut, berikut akan disebutkan kegunaan penelitian iniyaitu :
a.    Memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang konsep fikih lingkungan.
b.    Memberikan gambaran tentang  problem lingkungan yang ada di Kabupaten Tegal
c.    Memberikan penjelasan hukum tentang pentingnya menjaga alam dan penanggulangannya dalam perspektif fikih lingkungan


D.  Kerangka Teori
Alam tercipta dari Tuhan sebagai amanat bagi mausia untuk memanfaatkan dan mengelola seluruh unsur-unsur yang terdapat dalam alam namun pada kenyataanya mindset manusia senang berlebihan dalam memanfaatkan alam tersebut sehingga manusia sering kali berbuat dzalim[13] terhadap alam. Maka dari itu untuk menciptakan suatu keberlangsungan alam diperlukan keseimbangan karena pada hakikattnya tatanan dari satuan unsur-unsur lingkungan hidup dan kehidupan ( biotik maupun abiotik ) secara utuh dan menyeluruh saling mempengaruhi dan saling tergantung satu dengan yang lainnya sebagaimana dikatakan oleh .A.G. Tansley sebagai sebuah teori ekosistem.[14]
Kesadaran untuk menjaga keseimbangan juga di muat dalam UUD 1945 (amendemen kedua tahun 2000) pasal 28 H ayat (1)[15] menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Berdasarkan spirit itulah wawasan mengenai lingkungan hidup masuk dalam agenda besar pembangunan ekonomi nasional.   
Asas ilmu lingkungan  yang penting  bagi kehidupan manusia modern Menurut Tresna Sastra Wijaya yaitu materi energi, ruang, waktu dan keanekaragaman semuanya termasuk kategori sumber alam.Kegagalan manusia untuk menyadari sumber alam seperti ruang, waktu dan keanekaragamannya banyak menimbulkan masalah-masalah yang berdampak pada tidak seimbangnya alam.Ketidak seimbngan alam di karenakan gejala teknologi yang melawan kehendak dan kemampuan alam, Pengadaan sumber alam menentukan kapasitas bawa suatu lingkungan, keanekaragaman bentuk kehidupan terus menerus kita kurangi sehingga kemantapan sukar dapat dipertahankan.Penurunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem manusia akan mempengaruhui berbagai macam mekanisme, misalnya terhadap hama penyakit, terhadap habitat yang tidak subur atau terabaikan, terhadap kemantapan ekonomi, dan terhadap stagnasi ekonomi di kota.[16]
Pencemaran alam dapat menjadi faktor pembatas pada populasi manusia. Pencemaran alam berpengaruh pada pencemaran udara, kesehatan, dan pertumbuhan tanaman yang juga akan menghambat perkembangan populasi manusia.Permasalahan ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan[17].Di samping itu problematika pemahaman keagamaan menjadi faktor pendorong akan minimnya kesadaran manusia tentang menjaga ekosistem. Dikalangan umat Islam, masih terdapat golongan yang menganut faham teologi yang bercorak teosentrik. Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan kerusakan lingkungan sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah). Padahal Tuhan sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya. Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenomana sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan.
Diantara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, mashlahah merupakan salah satu alat metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan fikih lingkungan. Konsep mashlahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha untuk merumuskan konsep maqâshid asy-syarîah yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid asy-syarîah kajian lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[18]
Berdasarkan pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid asy-syarîah dalam arti kemashlahatan dapat ditemukan dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemashlahatannya maka ia dapat dianalisis melalui maqâshid asy-syarîah yang dapat dilihat dari ruh syarî‘ah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syatibi, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarîah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al- ’aql), dan harta (al-mâl)
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al-Syatibi membagi tingkat maqâshid atau tujuan syari‘ah kepada maqâshid ad-dharûriyat, maqâshid al-hâjiyyat dan maqâshid at-tahsîniyyat. Maqâshid ad-dharûriyyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan.[19]  seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya.
Namun demikian, baik al-Syathibi tidak menyinggung hifzh al-bi’ah atau hifzh al-‘alam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu tentang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang terdiri atas lima hal: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-‘aql), dan harta (al-mal).[20]
Secara tematik (maudlu’i)  ayat-ayat al-Quran serta hadits-hadits secara langsung atau tidak langsung, eksplisit atau implisit, memberikan hak kepada manusia sebagai khalifah Allah untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pada saat yang sama memerintahkan manusia untuk memeliharan dan menjaga keseimbangan alam. Karena itu, memelihara alam semesta (hifzh al-’alam) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah di sampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) Pertama, pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dipandang sebagai bagian dari maqâshid asy-syarîah, di samping memelihara agama (ad-dîn),  jiwa (an-nafs),  keluarga (an-nasl),  akal (al-’aql), dan  harta (al-mâl). Dengan demikian, kebutuhan dasar manusia tidak lagi terdiri dari lima hal pokok (al-kulliyyat al-khamsah) melainkan enam (al-kulliyyat al-sittah) Kedua, tanpa merubah struktur (al-kulliyyat al-khamsah) sebagaimana digagas al-Syathibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihî fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib)[21]. Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat al-khamsah, tetapi al-kulliyyat al-khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa (an-nafs) tidak akan berhasil dengan baik apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam), upaya memelihara keluarga (an-nasl) tidak berhasil dengan sempurna apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam) dan seterusnya.
Fikih lingkungan tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara multidisipliner. Berbeda dengan fiqh al-zakâh dan fiqh al-hajji misalnya, fikih lingkungan dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh bidang-bidang kehidupan manusia dengan alam. Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga lingkungan (hifzh al-bi`ah) sama dengan menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda.[22]Oleh sebab itu, dislokasi fikih lingkungan atau fiqh al-bîah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang komprehensip dan konseptualisasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
E.     Telaah Pustaka
Kajian mengenai fikih lingkungan telah banyak dilakukan oleh banyak pakar fikih, baik study komparasinya maupun kajian normatifnya, namun yang berkaitan dengan aspek pemetaan tentang menjadikan fikih lingkungan ini sebagai kajian yang bisa di aplikasikan dalam suatu daerah sepengetahuan penulis belum ditemukan.
Beberapa tulisan berkaiatan dengan fikih lingkungan yang terpenting di antaranya adalah  sebagai berikut :
1.    Pemikiran Abdillah Mujiono, tentang  Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Alquran, Jakarta merupakan kajian normatif yang membahas bagaimana dalam buku tersebut beliau sangat mengeksplorasi konsep lingkungan dalam alqur’an melalui empat kata kunci. Yakni, al-alamin,al-sama’al-ard dan al biah. Menurut mujiono, empat kata kunci tersebut membuktikan bahwa agama pada dasarnya memiliki andil dalam pelestarian lingkungan. Menurutnya, lafad al-alamin memiliki dua konotasi yakni seluruh spesies(umum) dan bermakna manusia(khusus)[23]. Kata as-sama’ (langit) yang berkonotasi pada tiga makna di antaranya jagad raya, ruang udara dan ruang angkasa[24]. Lafad al- ard (bumi) ada yang memiliki makna ekosistem bumi, lingkungan hidup, dan siklus ekosistem. Dan yang ke empat lafad al- biah merujuk kepada lingkungan hidup sebagai ruang hidup dan keseimbngan alam. Buku ini merupakan disertasi pengarang yang kemudian di bukukan.
2.    Azas-azas ilmu lingkungan dan Permasalahan ekologi yang dialami oleh dunia dewasa ini telah di jelaskan secara tuntas oleh A. Sastrawijaya, MSc dalam bukunya yang berjudul dampak pencemaran lingkungan. Dalam buku ini Sastrawijaya mengatakan azas-azas ilmu lingkungan merupakan dasar untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan lingkungan itu sendiri dan permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi pada alam di sebabkan oleh berkurangnya daya dukung alam yang di sebabkan oleh penggunaan manusia terhadap zat-zat kimia dan teknologi yang berlebihan
3.    Fikih lingkungan (Fiqh Al-bi‘ah) [25]Draft Laporan hasil kajian Indonesia Forest and Media campaign (INFORM) pertemuan menggagas fikih lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) oleh ulama Pesantren di Lido sebagai editor K.H. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, KH. Husein Mumammad, KH. Roghib Mabrur, Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Amalia Firman, Fachruddin Majeri Mangunjaya, Kamal IB. Pasha, Martha Andriana, di Sukabumi, pada tanggal 9-12 Mei 2004. Dalam buku tersebut Memberi kejelasan kesepakatan para ulama tentang pelestarian lingkungan, dalam buku tersebut memuat tentang peran serta para ulama pesantren guna menggali dan mengkaji aspek pelestarian alam dan lingkungan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Salaf (Kitab Kuning). Hasil dari kajian ini kemudian dirumuskandalam bentuk “Pernyataan Bersama Para Ulama Pesantren mengenai Fikih Lingkungan” yang memuatpernyataan sikap serta rekomendasi para ulama terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi.Paling tidak ada tiga kelompok yang harus terlibat. Pertama,pengguna yaitu setiap orang di desa maupun di kota yang merupakan pengguna lingkungan. Kedua, kelompok khusus bagi para pengusaha. Pengusaha ini harus tahu betul bagaimana melaksanakan usaha yang terkait dengan lingkungan. Apakah lingkungan hidup yang terkait dengan angin, tanaman, hewan, atau lain-lainnya. Ketiga, yaitu kelompok umara‘ (para pemimpin, penguasa), mulai tingkat RT sampai Presiden, termasuk yang duduk di lembaga elit, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Jadi, pemahaman tentang fikih lingkungan nanti bukan hanya perlu untuk lingkungan pesantren, tetapijuga untuk seluruh lapisan masyarakat
4.    Buku merintis fikih lingkungan hidup[26] karangan Ali Yafie memperlengkap wacana tentang ekologi. Dalam buku ini penulis membaca masalah-masalah ekologi dengan melalui kacamata fikih, beliau mengatakan bahwa dua pendapat tentang komponen kehidupan mendasar dalam fikih yakni al-dloruriyat al-khams atau al-kulliyat ala khams dan al-dloruriyat al siitt atau al kulliyat al sitt[27] yang paling sesuai dengan kajian dalam karyanya ini adalah poin kedua yakni al dloruriyat al sitt atau al kulliyat alsitt. Di sini sebagian pakar fikih mengisi komponen ke enam dengan hifzh al-ird (perlindungan kehormatan manusia) pada komponen ini ali yafie lebih pas dengan perlindungan atau pemeliharaan lingkungan hidup (hifzh al-biah al-insan), sebab hifd al ird( perlindugan kehermotan manusia) sudah masuk dalam komponen perlindungan jiwa dan raga manusia.
Jadi enam kebutuhan dasar manusia (al-dloruriyat al sit atau al kulliyat al sitt) menurut Ali Yafie adalah perlindungan kekayaan atau property (hifzh al-mal). Perlindungan keturunan (hifzh al nasb). Perlindungan agama (hifzh al din) dan perlindungan lingkungan hidup hifzh al-biah) Menurut Yafie maka jelaslah bahwa pemeliharaan atau perlindungan lingkungan hidup sangat penting di lakukan sebagimana penting kelestarian hidup itu sendiri. Jika lingkungan hidup tidak terpelihara secara memadai atau terjadi kerusakan , maka bahayanya akan menimpa pada semua komponen dasar kehidupan, yaitu keselamatan jiwa, keharmonisan keagamaan, perlindungan kekayaan, keturunan,kehormatan dan kesehatan akal. Akibatnya akan sangat fatal sebab selain memporak-porandakan dimensi fisik kehidupan juga menghancurkan dimensi esoteric kehidupan.
5.    Yusuf qorhawi dalam bukunya riayah al-bîah  fi asy-syariah al islam[28] yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh abdullaoh hakam, dkk. Dengan judul islam agama ramah lingkungan. Buku ini mencoba membahas permasalahan-permasalahan lingkungan dari perspektif agama ( Islam ). Yakni pemeliharaan lingkungan (riâ’yah al-biah) baik dari pemeliharaan dari segala sesuatu yang merusak dan mencemari serta pemeliharaan yang mengarah kepada pengembangan, Memperbaiki dan melestarikan alam.
6.    Islam doktrin dan peradaban karya Nurkholis madjid menguraikan tentangkonsep-konsep kosmologis dan antropologis dalam alquran menurutnya alam dan manusia sebagai mahluk yang di ciptakan oleh allah sama-sama memiliki hak. Allah dalam al quran melarang manusia berbuat kerusakan dan ketidak seimbangan terhadap alam. Allah memberikan kelebihan kepada manusia berupa akal agar manusia bertanggung jawab menjaga dan melestarikan alam.
7.    Pembangunan yang bewawasan lingkungan juga telah di uraikan oleh Emil Salim dalam bukunya yang berjudul pembangunan berwawasan lingkungan[29] Beliau menjelaskan bahwa pembangunan Indonesia di samping melesarikan sumber plasma dan alam yang begitu bernilai maka yang perlu di lakukan adalah melaksanakan dua hal secara bebarengan yakni mengenali hakikat masalah lingkungan yang relevan dengan pembangunan dan merumuskan kebijakan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan.
8.    Permasalahan ekologi yang dialami oleh dunia dewasa ini telah di jelaskan secara tuntas oleh wisnu arya wadhana dalam bukunya yang berjudul dampak pencemaran lingkungan. Dalam buku ini wisnu mengatakan permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi pada alam di sebabkan oleh berkurangnya daya dukung alam yang di sebabkan oleh penggunaan manusia terhadap zat-zat kimia dan teknologi yang berlebihan

F.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian dalam bentuk tesis ini termasuk ke dalam penelitian kwalitatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang  terdapat dalam  ruang perpustakaan seperti buku, majalah, naskah, catatan, dokumen, dan lain-lain yang terkait dengan fikih lingkungan secara konseptual maupun secara aktual melalui input data-data yang di hasilkan oleh hasil pencarian dari lembaga atau dinas terkait maupun pengematan penulis pada objek penelitian yaitu  portrait realitas kondisi lingkungan hidup yang ada di kabupaten tegal[30]
2.      Pendekatan
Penelitian ini akan menelusuri lebih komprehensif tentang lingkungan dalam Islam yang akan merujuk pada sumber normatif paling otoritatif bagi umat Islam yakni al Qur’an dan hadist dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fikih dan kitab-kitab klasik fiqih lainnya, selain itu akan diperkuat dengan pemikiran-pemikran yang diambil dari kajian-kajian ekologi. Sedangkan pendekatan filosofis sangat berguna untuk menemukan hikmah di belakang teks (behind the text), hakikat atau inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.[31]Dalam tradisi kesarjanaan Islam, pendekatan filosofis dikenal dengan pendekatan burhani yang mendasarkan pada kekuatan rasio melalui dalil-dalil logika.[32] Peranan rasio begitu mendominasi atas pemahaman sebuah teks ajaran agama dan konteks. Bagaimana realita teks dipahami menggunakan metode ta’lili dan tidak berhenti pada pemaknaan lahiriyah teks semata. Dalam pendekatan ini tercakup metode mashlahah dan adz-dzarî’ah yang berusaha memahami secara metodologis  terhadap realitas objektif (konteks). Realitas yang dimaksud adalah realitas alam, sejarah,  sosial maupun budaya. Dengan demikan, ada hubungan saling memengaruhi antara teks dan konteks.[33]Hal ini akan meniscayakan bagaimana teks akan didialektikakan dengan konteks memahami ajaran untuk menyelamatkan kelestarian alam.
3.      Sumber data
Data-data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang akan dikelompokkan pada sumber data primer dan data sekunder. Data-data primer berupa teori-teori dan kajian tentang fikih lingkungan dari dasar normatifnya maupun filosofinya. Data-data primer ini akan didukung dengan data sekunder yang diperoleh dari pengamatan penulis tentang realita yang ada di kabupaten tegal khususnya mengenai problem lingkungan yang ada di Kabupaten Tegal, aktor lapangan yang terlibat dalam menjaga kelestarian alam serta data yang di hasilkan dari dinas-dinas atau lembaga yang khusus menangani lingkungan hidup kemudian buku-buku yang hanya membahas bagian-bagian dari fikih lingkungan.
4.      Teknik analisis data
Pembagian data kepada primer dan sekunder akan dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan data-data dari unsur yang terkait. Setelah seluruh data terkumpul, maka tahapan selanjutnya adalah menganalisa data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisa konten dengan melibatkan ushul fikih, qawa’idul fiqhiyyah dan fikih yang sudah terbingkai dalam kajian pembahasan tentang fikih lingkungan secara padu dengan memperhatikan konteks masalah masalah  lingkungan yang ada di Kabupaten Tegal. Dengan demikian, beberapa perangkat ilmu budaya seperti sosiologi dan antropologi juga akan dilibatkan dengan mencukupkan diri pada hasil-hasil kajian para pakar yang telah tersedia dalam bentuk dokumen sehingga akan memunculkan konklusi hukum Islam tentang upaya dalam rangka menjaga alam di Kabupaten Tegal.
G.    Sistematika Pembahasan
Ragam topik dalam penelitian ini akan dibahas ke dalam beberapa BAB. Yaitu:  
1.      Bab Pertama: Pendahuluan yang berisi tentang Latar belakang dan perumusan masalah yang berkaitan dengan urgensitas objek kajian tentang fikih lingkungan, kajian pustaka terdahulu dan kerangka teori dalam kajian ini, metodolgi penelitian dan teknik penelitian kemudian di teruskan dengan sistematika pembahasan
2.      Bab Kedua, Membahas Tentang Konseptualisasi Fikih Lingkungan Secara   Komprehensif Meliputi; konsepsi Fikih Lingkungan, Istilah, Definisi, dan Teori Tentang Lingkungan, Ruang lingkup fikih lingkungan, Historisitas wacana fikih lingkungan dan paradigma baru fikih lingkungan. Landasan teologis  sebagai  Etika Pengelolaan Lingkungan Dalam Perspektif Islam, Mashlahah Sebagai Kerangka Metodologis Fikih Lingkungan
3.      Bab Ketiga, Berisi tentang  Potrait Realitas Lingkungan Di Kabupaten Tegal, Kondisi Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal Dan Kecenderungannya, Tekanan terhadap Lingkungan Di Kabupaten Tegal (Problem Lingkungan), Peran Pemerintah dan  Masyarakat Pada Issue Lingkungan, dan Corak keberagamaan masyarakat Kabupaten Tegal.
4.      Bab Keempat Membahas Tentang Analisis Problem Lingkungan Di Kabupaten Tegal Dan Menanggulanginya Dalam Perspektif Fikih Lingkungan Yang Meliputi: Analisis problem lingkungan di Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan, Pemberlakuan Hukum Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Di Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan, dan Analisis hukum cara menaggulangi problem lingkungan di kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan.
5.       Bab Kelima, berisi simpulan-simpulan atas beberapa rumusan  masalah yang diajukan dalam penelitian ini.





















[1] Musnahnya harimau Jawa tidak hanya merugikan orang Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh dunia. Musnahnya harimau  Jawa sama dengan terputusnya  rantai ekosistem  kehidupan di muka bumi.
                [2]Fachruddin M. Mangunjaya, “Dunia Islam dan Perubahan Iklim, jakarta, 2008
                Fahrudin M, Mangunwijaya aktif sebagai penulis lepas mengenai lingkungan hidup dan konservasi alam di berbagai surat kabar dan majalah-majalah. Pria kelahiran kumai (Kalimantan tengah) 10 november 1964 ini merupakan mahasiswa pasca sarjana(s2) departemen biologi jurusan konservasi fakutas matematika dan pengetahuan ala (FMIPA) universitas indonesia
[3]  Salah satu pakar hukum  Islam yaitu Mujiyono Abdillah; guru besar IAIN  semarang  dan Ilyas Supeno dosen UIN makasar.
[4] Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan Lingkungan”,  http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm, diakses tanggal 20 September 2013

                [5]Alkadri, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT. Jakarta. 1999

[6]Buku laporan, Arsip Lembaga Bantuan Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal, Kabupaten Tegal 2012
[7]Muchsin al-Fikri, “Fikih Lingkungan dan Kearifan Lokal”, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/04/ renungan_jumat.htm, diakses tanggal 20 September 2013
            [8]Muhammad Mawhiburrahman, Menggagas Fikih Lingkunganhttp://muhammad mawhiburrahman.blogspot.com 2013/05/ menggagas- fikih-lingkungan.html,diakses tanggal 20 September 2013
[9]Alie yafie, merintis fikih lingkungan hidup (jakrta; ufuk, 2006)
                  [10] Kemunculan wacana fikih lingkungan bisa ditelusuri belum lama ini.Sebuah survei historis-arkeologis yang lebih komprehensif tentu tetap harus dilakukan untuk menandai secara pasti sejak kapan istilah ini menjadi kosa kata baru dalam wacana keislaman (dan hukum Islam) kita secara umum. Namun, menurut pengamatan terbatas penulis, wacana fiqh lingkungan mengemuka kurang lebih saat Yusûf al-Qardlâwî, guru besar fikih dari Syiria yang pandangan-pandangannya populer di negara kita, menulis karyanya yang berjudul Ri'âyah al-Bîah fî Syarî'ah al-Islâm pada tahun 2001 yang lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa tahun-tahun sebelumnya wacana ini telah populer dalam diskursus ilmiah di Arab sana. Tetapi bila kita lihat "fluktuasi" perkembangan wacananya di Indonesia, secara hipotetis bisa dikatakan bahwa wacana ini merupakan "rintisan" al-Qardlâwî. Seolah menindak lanjuti gagasan al-Qardlâwî, pada tahun 2006 KH.Ali Yafie kemudian menerbitkan buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Menyetujui gagasan al-Qardlâwî, Ali Yafie yang juga seorang faqîh di Indonesia, mewacanakan perlunya suatu landasan baru untuk memperluas kajian fiqh hingga merambah persoalan-persoalan lingkungan. Gagasan Ali Yafie ini seolah mengiringi serangkaian buku dan tulisan yang terbit dua atau tiga tahun sebelumnya tentang "bidang baru" ini, seperti antara lain buku hasil karya Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (2005).
[11] Lihat Abd al-Wahhâb Khallâf, Ushûl al-fiqh (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978), halm 15.
                [12]Ilyas Supena, Jurnal ADDIN, Stud fikih Lingkungan (Sebuah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis). 2009

$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ    [13]  
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [1233]  kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh,
[14]Soerianegara dan Indrawan, A..Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 1988
  [15]UUD 1945 (amendemen kedua tahun 2000) pasal 28 H ayat (1)
[16]  A, Tresna sastra wijaya, pencemaran lingkungan, PT Rineka cipta, anggota IKAPI, Jakarta, 1991
  [17]Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan Lingkungan”,  http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm

[18]Maqâshid asy-syarîah  secara substansial mengandung kemashlahatan yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, Maqâshid asy-Syarî‘ (tujuan Tuhan) dan kedua Maqâshid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid asy-syarîah mengandung empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari‘ dalam menetapkan syari‘ah, yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan syari‘ah sebagai sesuatu yang harus dipahami, (3) penetapan syari‘ah sebagai hukum mukallaf yang harus dilaksanakan, (4) penetapan syari‘ah  guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Sedangkan maqâshid asy-syarîah ditinjau dari sudut tujuan mukallaf aialah agar setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan syari‘ah yang digariskan al-Syari, sehingga tercapai kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), halm. 43
[19]Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Juz II, hal. 7.
[20]Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220}
[21]Muhammad Abu zahroh, Ushûl al-Fiqh Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t
[22]Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah lingkungan terj. Hakam shah (jakarta; pustaka al kaustar)
[23]Ayat-ayat yang berkaian dengan seluruh spesies adalah QS.1;1, QS. 2;13 QS. 5;25, QS.6;45.71.162 QS. 7;54.6167.104.121 dll.
[24] Ayat ayat yang bermakna jagad raya adalah QS.2;22 ruang udara QS 2;164, QS 14;24,   QS 16;79
[25] Fiqih lingkungan (Fiqh al-bîah) Laporan hasil kajian Indonesia Forest and Media campaign  ( INFORM ) pertemuan menggagas fiqh lingkungan ( Fiqh al-Bi’ah ) oleh ulama Pesantren di Lido sebagai editor Ahsin Sakho Muhammad, Husein Mumammad, Roghib Mabrur, Ahmad Sudirman Abbas, Amalia Firman, Fachruddin Majeri Mangunjaya, Kamal IB. Pasha, Martha Andriana, Sukabumi, pada tanggal 9-12 Mei 2004.
[26]Alie yafie, meintis fiqih lingkungan hidup(jakrta; ufuk, 2006)
[27] Lima komponen dasar kehidupan tersebut adalah perlindungan jiwa (hifzh al nafs) perlindungan akal  (hifzh al-aql)  pelindungan kekayaan atau properti (hifzh al-mal)  perlndungan agama (hifzh al-din) dan  ke enam  komponen  kehidupan yang mendasar adalah jiwa (hifzh al-nafs) perlindungan akal (hifzh al-aql) perlindungan kekayaan atau property (hifzh al-mal) perlindungan keturunan (hifd al-nasb) perlindungan agama(hifzh al-din) dan perlindungan kehormatan manusia (hifd al-ird).
Ibid halm. 224-225
[28]Lihat Yusuf  al-qordhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan terj. Hakam shah (Jakarta; pustaka al kaustar)
[29] Emil salim, pembangunan berwawasan lingkungan, Jakarta, KPG Kepustakaan Populer Gramedia,2010
[30]Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Riser Sosial, cet. VII, Bandung : Mandat Maju, .1996 hal. 33
[31]ArmaiArief, PengantarIlmudanMetodologiStudi Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002 cet.1. halm. 100-101
[32]Muhammad  Abid al Jabiri.. Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi : Dirasah Tahliliyyah li Nudzum al Ma’rifah fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah, 2009 cet. IX, Beirut : Markaz Dirasat al Wahdah al ‘Arabiyyah, halm. 383
[33]Amir Mu’allim dan Yusdani.  Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta : UII Press, .2004 halm. 109

1 komentar:

  1. T-10Ti Titanium Spinning Blades for Blades
    The T-10Ti- Titanium Spinning Blades have a raft titanium diameter of 25 cm and solo titanium razor a thickness of 15 cm. These blades 2020 escape titanium are made to make a spin from burnt titanium the steel base and start spinning. microtouch titanium trim reviews

    BalasHapus