FIKIH LINGKUNGAN
Oleh : Syamsul Falah, M.H.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rusaknya alam
yang di akibatkan bencana semakian hari semakin dekat mengancam jiwa
manusia. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah
longsor, kekeringan dan bayaknya virus dan penyakit merupakan fenomena yang
akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah
terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan ozon
(lubang ozon) pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan
sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap
dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies
binatang tertentu, seperti punahnya harimau jawa.[1] Krisis lingkungan ini pada gilirannya akan
mengancam eksistensi bumi sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk lain.Umat
Islam yang umumnya tinggal di negara-negara yang berkembang tidak luput dari
ancaman krisis lingkungan ini, bahkan persoalan cenderung lebih kompleks.
Pasca kolonialisme
dan imperialisme Barat negara-negara muslim berusaha bangkit menemukan
identitas mereka. Masalahnya, sebagai negara berkembang yang baru saja ingin
bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan antara
pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam
dan industrialisasi yang sangat tidak terkendali, dan keadaan lingkungan yang
telah sangat cepat berubah sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana yang akan
menimpa.[2]
Jika diamati
secara lebih cermat, menurut sebagian
pakar hukum Islam yang peduli
terhadap issue lingkungan[3] setidaknya
ada tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya
kriris lingkungan ini. Pertama, permasalahan fundamental-filosofis. Permasalahan
ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan
posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang
mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik
terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap
sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme,
dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan
memperburuk kerusakan lingkungan.[4]
Kedua, permasalahan politik ekonomi global. Sebagai
imbas paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme, negara-negara
maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang telah menimbulkan
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan kemudian muncul ketika
negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia ketiga untuk mengambil peran
positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama menetralisir kasus kebakaran
hutan, sementara negara-negara miskin dan berkembang memandang Barat sebagai
pihak yang paling bertanggungjawab terhadap krisis lingkungan global.
Ketiga,
permasalahan- pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih terdapat
golongan yang menganut pagam teologi yang bercorak teosentrik. Orang
yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan
sebagainya sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini
sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta
kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan di artikan suatu keseimbangan ekologi yang harus ada
antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah lepas dari lingkungan. Aktivitas
manusia dipengaruhi oleh lingkungan sebagai penunjang kehidupan, baik
lingkungan fisik, biologis, ataupun lingkungan sosial. Hubungan interaksi
antara manusia dan lingkungan jika tidak berjalan dengan baik dan seimbang akan
menimbulkan bahaya lingkungan yang selanjutnya menyebabkan munculnya
permasalahan-permasalahan kesehatan lingkungan. Pengetahuan tentang hubungan
antara jenis lingkungan sangat penting agar dapat menanggulangi permasalahan
lingkungan secara tuntas. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya
merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan
sampai akhir hidupnya. Perkembangan kota yang cepat membawa dampak pada masalah
lingkungan. Perilaku manusia terhadap lingkungan akan menentukan wajah kota,
sebaliknya lingkungan juga akan mempengaruhi perilaku manusia. Lingkungan yang
bersih akan meningkatkan kualitas hidup. Perkembangan kota akan diikuti dengan
pertambahan jumlah penduduk, yang juga akan berakibat pada masalah-masalah
sosial dan lingkungan.[5]
Potret masalah lingkungan juga bisa terjadi di
daerah-daerah maju seperti Kabupaten Tegal dimana
kabupaten tegal merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.Ibu
kotanya adalah Slawi, sekitar 14 km sebelah selatan Kota Tegal. Bagian utara
wilayah Kabupaten Tegal merupakan dataran rendah.Di sebelah selatan merupakan
pegunungan, dengan puncaknya Gunung Slamet (3.428 meter), gunung tertinggi di
Jawa Tengah.Di perbatasan dengan Kabupaten Pemalang, terdapat rangkaian
perbukitan yang tidak terlalu terjal.
Kategori atau karakteristik daerah yang terdiri
dari tiga macam, yaitu dataran pantai, rendah, dan tinggi menjadikan Kabupaten
Tegal memiliki kondisi lingkungan yang beraneka ragam dan unik.Keanekaragaman
kondisi wilayah Kabupaten Tegal mempengaruhi aktivitas sehari-hari masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari mata pencaharian
penduduk Kabupaten Tegal yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerah tempat
tinggalnya.Oleh karena itu, permalasahan kesehatan lingkungan baik sebagai
dampak dari aktivitas manusia ataupun aktivitas alam juga sangat beraneka
ragam.Permasalahan kesehatan lingkungan yang terdapat di Kabupaten Tegal yaitu
sanitasi air bersih, persampahan, pencemaran udara, dan pembuangan limbah
industri serta rencana pembangunan yang berdampak pada eksploitasi alam seperti
eksploitasi hutan dan galian-galian yang tidak terkontrol sehingga berdampak
pada kesimbangan sungai.[6]
Dalam bidang
fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang memahami
fikih hanya sebatas ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji.
Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenoeman sosial, seperti fikih
lingkungan masih terabaikan. Padahal
dalam konteks krisis ekologis saat ini, fikih lingkungan menjadi sangat urgen.
Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan
bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan
itu adalah ibadah. Melalui fikih lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada
masyarakat sebuah keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk
mengambil hak para pejalan kaki yang diharamkan agama dan sebagainya.[7] Agama
selama ini dipandang hanya berkutat pada ranah ritus dan simbol belaka dan
cenderung mengabaikan realitas sosial yang tengah berkembang.[8] Ketika
kemudian Islam dihubung-hubungkan dengan upaya pmeliharaan lingkungan,
sebagian orang memandang sebelah mata. Padahal umat Islam (ulâma)
memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan menggunakan
pendekatan fikih.[9]
Mengatasi krisis lingkungan yang kini sedang
melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan
sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai
perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fikih lingkungan (fiqh
al-bîah)[10], karena persoalan ekologi berkaitan dengan
problem kemanusiaan secara keseluruhan. Fikih lingkungan (fiqh al-bîah) merupakan
terobosan baru bagi upaya konservasi dan restorasi lingkungan hidup dengan perspektif keagamaan.
Perspektif
ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam rangka konservasi dan restorasi lingkungan
sebagai suplement bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada. Selanjutnya
kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bîah dalam
tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah
berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai perbuatan-perbuatan
manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[11] Oleh karenanya, fikih lingkungan yang dimaksud adalah
pengetahuan atau tuntutan syar'i yang konsen terhadap masalah-masalah
ekologi atau tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap
perilaku manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan
eksploitatif. Di
sini fikih lingkungan harus mengatur tentang kaidah baik-buruk atau halal-haram
yang akan menjadi patokan penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau buruk.
Dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius
yang mendasarkan diri pada Qur’an dan Hadits dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Umat Islam
sekaligus dapat meyakinkan dunia bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan dan
terorisme dan tidak apatis terhadap persoalan lingkungan, tetapi ia memiliki view
point yang berbasis al-Qur’an-al hadist mapun fikih untuk menyelesaikan persoalan
lingkungan hidup[12]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsep fikih lingkungan?
2.
Bagaimana
problem lingkungan hidup di Kabupaten Tegal?
3.
Bagaimana hukum
menanggulangi problem lingkungan hidup di Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih
lingkungan?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui konsep fikih secara menyeluruh
b. Mengetahui secara komprehensif problem lingkungan di Kabupaten Tegal
c. Mengetahui hukum menanggulangi problem lingkungan
di kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan?
2. Di samping tujuan penelitian tersebut, berikut akan
disebutkan kegunaan penelitian iniyaitu :
a. Memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang konsep fikih lingkungan.
b. Memberikan
gambaran tentang problem lingkungan yang
ada di Kabupaten Tegal
c. Memberikan
penjelasan hukum tentang pentingnya menjaga alam dan penanggulangannya dalam
perspektif fikih lingkungan
D.
Kerangka Teori
Alam
tercipta dari Tuhan sebagai
amanat bagi mausia untuk memanfaatkan dan mengelola seluruh unsur-unsur yang
terdapat dalam alam namun pada kenyataanya mindset manusia senang berlebihan
dalam memanfaatkan alam tersebut sehingga manusia sering kali berbuat dzalim[13] terhadap alam. Maka dari itu
untuk menciptakan suatu keberlangsungan alam diperlukan keseimbangan karena
pada hakikattnya tatanan dari satuan unsur-unsur lingkungan hidup dan kehidupan
( biotik maupun abiotik ) secara utuh dan menyeluruh saling mempengaruhi dan
saling tergantung satu dengan yang lainnya sebagaimana dikatakan oleh .A.G.
Tansley sebagai sebuah teori ekosistem.[14]
Kesadaran untuk menjaga keseimbangan juga di muat
dalam UUD 1945 (amendemen kedua tahun 2000) pasal 28 H ayat (1)[15]
menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.Berdasarkan spirit itulah wawasan mengenai lingkungan hidup
masuk dalam agenda besar pembangunan ekonomi nasional.
Asas ilmu lingkungan yang penting
bagi kehidupan manusia modern Menurut Tresna Sastra
Wijaya yaitu materi energi, ruang, waktu dan keanekaragaman semuanya
termasuk kategori sumber alam.Kegagalan manusia untuk menyadari sumber alam
seperti ruang, waktu dan keanekaragamannya banyak menimbulkan masalah-masalah
yang berdampak pada tidak seimbangnya alam.Ketidak seimbngan alam di karenakan gejala
teknologi yang melawan kehendak dan kemampuan alam, Pengadaan sumber alam
menentukan kapasitas bawa suatu lingkungan, keanekaragaman bentuk kehidupan
terus menerus kita kurangi sehingga kemantapan sukar dapat
dipertahankan.Penurunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem manusia akan
mempengaruhui berbagai macam mekanisme, misalnya terhadap hama penyakit,
terhadap habitat yang tidak subur atau terabaikan, terhadap kemantapan ekonomi,
dan terhadap stagnasi ekonomi di kota.[16]
Pencemaran alam dapat menjadi
faktor pembatas pada populasi manusia. Pencemaran alam berpengaruh pada
pencemaran udara, kesehatan, dan pertumbuhan tanaman yang juga akan menghambat
perkembangan populasi manusia.Permasalahan
ini berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan
posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang
mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik
terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat
konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang
dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains
dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan[17].Di
samping itu problematika pemahaman keagamaan menjadi faktor pendorong akan
minimnya kesadaran manusia tentang menjaga ekosistem. Dikalangan umat Islam,
masih terdapat golongan yang menganut faham teologi yang bercorak teosentrik.
Orang yang berpaham demikian akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir
dan kerusakan lingkungan sebagai taqdir Tuhan, dan tidak memandang
krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas
sosial serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam (sunnatullah).
Padahal Tuhan sendiri menyuruh manusia untuk memahami fenomena alam dan
fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu pengetahuan serta hidup berdampingan
secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang
ada di dalamnya. Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada
segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah mahdloh
seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan
fenomana sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan.
Diantara sumber-sumber metodologi pengembangan
hukum Islam, mashlahah merupakan salah satu alat metodologis yang dapat
dijadikan pegangan dalam mengembangkan fikih
lingkungan. Konsep mashlahah ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para fuqaha
untuk merumuskan konsep maqâshid asy-syarî‘ah yang akan menjadi
landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan kebahasaan
terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi
kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks
suci, maka dalam pendekatan melalui maqâshid asy-syarî‘ah kajian
lebih menitikberatkan pada upaya melihat nilai-nilai yang berupa kemashlahatan
manusia dalam setiap taklîf yang diturunkan Allah.[18]
Berdasarkan
pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menyimpulkan bahwa maqâshid
asy-syarî‘ah dalam arti kemashlahatan dapat ditemukan dalam
aspek-aspek hukum secara keseluruhan artinya apabila terdapat
permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemashlahatannya maka
ia dapat dianalisis
melalui maqâshid asy-syarî‘ah yang dapat dilihat dari ruh
syarî‘ah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syatibi,
hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syarî‘ah adalah mewujudkan
dan memelihara lima unsur pokok; agama (ad-din), jiwa (an-nafs),
keluarga (an-nasl), akal (al- ’aql), dan harta (al-mâl)
Dalam usaha
mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al-Syatibi membagi tingkat
maqâshid atau tujuan syari‘ah kepada maqâshid ad-dharûriyat, maqâshid
al-hâjiyyat dan maqâshid at-tahsîniyyat. Maqâshid ad-dharûriyyat
dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia. Apabila hal
ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan
kehidupan.[19] seperti makan, minum, shalat, shaum dan
ibadah-ibadah lainnya.
Namun demikian, baik al-Syathibi
tidak menyinggung hifzh al-bi’ah atau hifzh al-‘alam
(memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqashid asy-syari’ah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu tentang pengelolaan
dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri merupakan ilmu pengetahuan
yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang
berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang
tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang
terdiri atas lima hal: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl),
akal (al-‘aql), dan harta (al-mal).[20]
Secara tematik (maudlu’i) ayat-ayat al-Quran serta hadits-hadits secara langsung
atau tidak langsung, eksplisit atau implisit, memberikan hak kepada
manusia sebagai khalifah Allah untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan pada saat yang sama memerintahkan manusia untuk memeliharan dan
menjaga keseimbangan alam. Karena itu, memelihara alam semesta (hifzh
al-’alam) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah di
sampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan
bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam
semesta (hifzh al-’alam) Pertama, pemeliharaan alam
semesta (hifzh al-’alam) dipandang sebagai bagian dari maqâshid
asy-syarî‘ah, di samping memelihara agama (ad-dîn),
jiwa (an-nafs), keluarga (an-nasl), akal (al-’aql),
dan harta (al-mâl). Dengan demikian, kebutuhan dasar manusia tidak
lagi terdiri dari lima hal pokok (al-kulliyyat al-khamsah)
melainkan enam (al-kulliyyat al-sittah) Kedua, tanpa
merubah struktur (al-kulliyyat al-khamsah) sebagaimana digagas
al-Syathibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan “mâ lâ
yatimmu al-wâjib illa bihî fahua wâjib” (sesuatu yang menjadi mediator
pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib)[21]. Dengan
argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta (hifzh
al-’alam) tidak termasuk dalam kategori al-kulliyyat al-khamsah, tetapi
al-kulliyyat al-khamsah itu sendiri tidak mungkin terlaksana
dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam)
diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa (an-nafs) tidak akan
berhasil dengan baik apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh
al-’alam), upaya memelihara keluarga (an-nasl) tidak berhasil dengan
sempurna apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta (hifzh al-’alam)
dan seterusnya.
Fikih
lingkungan tumbuh dengan kompleksitas problem ekologi secara multidisipliner.
Berbeda dengan fiqh al-zakâh dan fiqh al-hajji misalnya, fikih
lingkungan dapat menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh
bidang-bidang kehidupan manusia dengan alam. Menurut Yusuf Qaradhawi, menjaga
lingkungan (hifzh al-bi`ah) sama dengan menjaga agama (din), jiwa (nafs), akal
(aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi
ternoda.[22]Oleh
sebab itu, dislokasi fikih lingkungan atau fiqh al-bîah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh
paradigma epistemologi yang komprehensip dan konseptualisasi yang bisa dipertanggung
jawabkan.
E. Telaah Pustaka
Kajian
mengenai fikih lingkungan telah banyak dilakukan oleh banyak pakar fikih, baik
study komparasinya maupun kajian normatifnya, namun yang berkaitan dengan aspek pemetaan
tentang menjadikan fikih lingkungan ini sebagai kajian yang bisa di aplikasikan
dalam suatu daerah sepengetahuan penulis belum ditemukan.
Beberapa tulisan berkaiatan dengan fikih lingkungan yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Pemikiran Abdillah
Mujiono, tentang Agama Ramah
Lingkungan: Perspektif Alquran, Jakarta merupakan kajian normatif yang
membahas bagaimana dalam buku tersebut beliau sangat mengeksplorasi konsep
lingkungan dalam alqur’an melalui empat kata kunci. Yakni, al-alamin,al-sama’al-ard
dan al biah. Menurut mujiono, empat kata kunci tersebut membuktikan
bahwa agama pada dasarnya memiliki andil dalam pelestarian lingkungan.
Menurutnya, lafad al-alamin memiliki dua konotasi yakni seluruh
spesies(umum) dan bermakna manusia(khusus)[23]. Kata as-sama’
(langit) yang berkonotasi pada tiga makna di antaranya jagad raya, ruang udara
dan ruang angkasa[24]. Lafad al-
ard (bumi) ada yang memiliki makna ekosistem bumi, lingkungan hidup, dan
siklus ekosistem. Dan yang ke empat lafad al- biah merujuk kepada
lingkungan hidup sebagai ruang hidup dan keseimbngan alam. Buku ini merupakan
disertasi pengarang yang kemudian di bukukan.
2.
Azas-azas ilmu lingkungan dan Permasalahan ekologi yang
dialami oleh dunia dewasa ini telah di jelaskan secara tuntas oleh A.
Sastrawijaya, MSc dalam bukunya yang berjudul dampak pencemaran lingkungan.
Dalam buku ini Sastrawijaya mengatakan azas-azas ilmu lingkungan merupakan
dasar untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan lingkungan itu sendiri dan
permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi pada alam di sebabkan oleh
berkurangnya daya dukung alam yang di sebabkan oleh penggunaan manusia terhadap
zat-zat kimia dan teknologi yang berlebihan
3.
Fikih lingkungan (Fiqh Al-bi‘ah) [25]Draft
Laporan hasil kajian Indonesia Forest and Media campaign (INFORM) pertemuan
menggagas fikih lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) oleh ulama Pesantren di Lido
sebagai editor K.H. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, KH. Husein
Mumammad, KH. Roghib Mabrur, Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Amalia Firman,
Fachruddin Majeri Mangunjaya, Kamal IB. Pasha, Martha Andriana, di
Sukabumi, pada tanggal 9-12 Mei 2004. Dalam buku tersebut Memberi kejelasan
kesepakatan para ulama tentang pelestarian lingkungan, dalam buku tersebut
memuat tentang peran serta para ulama pesantren guna menggali dan mengkaji
aspek pelestarian alam dan lingkungan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan Kitab
Salaf (Kitab Kuning). Hasil dari kajian ini kemudian dirumuskandalam bentuk
“Pernyataan Bersama Para Ulama Pesantren mengenai Fikih Lingkungan” yang
memuatpernyataan sikap serta rekomendasi para ulama terhadap permasalahan
lingkungan yang terjadi.Paling tidak ada tiga kelompok yang harus terlibat. Pertama,pengguna
yaitu setiap orang di desa maupun di kota yang merupakan pengguna lingkungan. Kedua,
kelompok khusus bagi para pengusaha. Pengusaha ini harus tahu betul bagaimana
melaksanakan usaha yang terkait dengan lingkungan. Apakah lingkungan hidup yang
terkait dengan angin, tanaman, hewan, atau lain-lainnya. Ketiga, yaitu
kelompok umara‘ (para pemimpin, penguasa), mulai tingkat RT sampai
Presiden, termasuk yang duduk di lembaga elit, seperti legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Jadi, pemahaman tentang fikih lingkungan nanti bukan hanya perlu
untuk lingkungan pesantren, tetapijuga untuk seluruh lapisan masyarakat
4.
Buku merintis fikih lingkungan
hidup[26]
karangan Ali Yafie memperlengkap wacana tentang ekologi. Dalam buku ini penulis
membaca masalah-masalah ekologi dengan melalui kacamata fikih, beliau
mengatakan bahwa dua pendapat tentang komponen kehidupan mendasar dalam fikih
yakni al-dloruriyat al-khams atau al-kulliyat ala khams dan al-dloruriyat al
siitt atau al kulliyat al sitt[27]
yang paling sesuai dengan kajian dalam karyanya ini adalah poin kedua yakni al
dloruriyat al sitt atau al kulliyat alsitt. Di sini sebagian pakar fikih
mengisi komponen ke enam dengan hifzh al-ird (perlindungan kehormatan
manusia) pada komponen ini ali yafie lebih pas dengan perlindungan atau pemeliharaan
lingkungan hidup (hifzh al-biah al-insan), sebab hifd al ird(
perlindugan kehermotan manusia) sudah masuk dalam komponen perlindungan jiwa
dan raga manusia.
Jadi enam kebutuhan dasar manusia (al-dloruriyat
al sit atau al kulliyat al sitt) menurut Ali Yafie adalah perlindungan kekayaan atau property (hifzh al-mal). Perlindungan
keturunan (hifzh al nasb). Perlindungan agama (hifzh al din) dan
perlindungan lingkungan hidup hifzh
al-biah) Menurut Yafie maka jelaslah bahwa pemeliharaan atau perlindungan lingkungan
hidup sangat penting di lakukan sebagimana penting kelestarian hidup itu
sendiri. Jika lingkungan hidup tidak terpelihara secara memadai atau terjadi
kerusakan , maka bahayanya akan menimpa pada semua komponen dasar kehidupan,
yaitu keselamatan jiwa, keharmonisan keagamaan, perlindungan kekayaan,
keturunan,kehormatan dan kesehatan akal. Akibatnya akan sangat fatal sebab selain memporak-porandakan dimensi
fisik kehidupan juga menghancurkan dimensi esoteric kehidupan.
5.
Yusuf qorhawi dalam bukunya riayah al-bîah fi asy-syariah al islam[28] yang telah di
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh abdullaoh hakam, dkk. Dengan judul
islam agama ramah lingkungan. Buku ini mencoba membahas permasalahan-permasalahan
lingkungan dari perspektif agama ( Islam ). Yakni pemeliharaan lingkungan (riâ’yah
al-biah) baik dari pemeliharaan dari segala sesuatu yang merusak dan
mencemari serta pemeliharaan yang mengarah kepada pengembangan, Memperbaiki dan
melestarikan alam.
6.
Islam doktrin dan peradaban karya Nurkholis madjid menguraikan
tentangkonsep-konsep kosmologis dan antropologis dalam alquran menurutnya alam
dan manusia sebagai mahluk yang di ciptakan oleh allah sama-sama memiliki hak.
Allah dalam al quran melarang manusia berbuat kerusakan dan ketidak seimbangan
terhadap alam. Allah memberikan kelebihan kepada manusia berupa akal agar
manusia bertanggung jawab menjaga dan melestarikan alam.
7.
Pembangunan yang bewawasan lingkungan juga telah di uraikan oleh Emil Salim dalam
bukunya yang berjudul pembangunan berwawasan lingkungan[29] Beliau menjelaskan bahwa pembangunan Indonesia di samping melesarikan
sumber plasma dan alam yang begitu bernilai maka yang perlu di lakukan adalah
melaksanakan dua hal secara bebarengan yakni mengenali hakikat masalah
lingkungan yang relevan dengan pembangunan dan merumuskan kebijakan pembangunan
dengan pertimbangan lingkungan.
8. Permasalahan ekologi yang dialami oleh dunia
dewasa ini telah di jelaskan secara tuntas oleh wisnu arya wadhana dalam bukunya yang berjudul dampak pencemaran lingkungan.
Dalam buku ini wisnu mengatakan permasalahan-permasalahan ekologi yang terjadi
pada alam di sebabkan oleh berkurangnya daya dukung alam yang di sebabkan oleh
penggunaan manusia terhadap zat-zat kimia dan teknologi yang berlebihan
F. Metode
Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam bentuk tesis ini termasuk ke
dalam penelitian kwalitatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi yang terdapat dalam ruang
perpustakaan seperti buku, majalah, naskah, catatan, dokumen, dan lain-lain
yang terkait dengan fikih
lingkungan secara
konseptual maupun secara aktual
melalui input data-data yang di hasilkan oleh hasil pencarian dari lembaga atau
dinas terkait maupun pengematan penulis pada objek
penelitian yaitu portrait realitas
kondisi lingkungan hidup yang ada di kabupaten tegal[30]
2.
Pendekatan
Penelitian ini akan menelusuri lebih
komprehensif tentang lingkungan dalam Islam yang akan merujuk pada sumber normatif paling otoritatif bagi umat Islam yakni al Qur’an dan hadist dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fikih dan
kitab-kitab klasik fiqih lainnya, selain itu akan diperkuat dengan
pemikiran-pemikran yang diambil dari kajian-kajian ekologi. Sedangkan pendekatan filosofis sangat berguna
untuk menemukan hikmah di belakang teks (behind the text), hakikat atau
inti dari ajaran agama, agar dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.[31]Dalam
tradisi kesarjanaan Islam, pendekatan filosofis dikenal dengan pendekatan burhani
yang mendasarkan pada kekuatan rasio melalui dalil-dalil logika.[32]
Peranan rasio begitu mendominasi atas pemahaman sebuah teks ajaran agama dan konteks. Bagaimana realita teks dipahami menggunakan metode ta’lili dan tidak berhenti pada pemaknaan lahiriyah teks semata. Dalam pendekatan
ini tercakup metode mashlahah dan adz-dzarî’ah yang berusaha memahami secara metodologis
terhadap realitas objektif (konteks).
Realitas yang dimaksud adalah realitas alam, sejarah, sosial maupun budaya. Dengan demikan, ada
hubungan saling memengaruhi antara teks dan konteks.[33]Hal
ini akan meniscayakan bagaimana teks akan didialektikakan dengan konteks memahami
ajaran untuk menyelamatkan kelestarian
alam.
3. Sumber data
Data-data dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang akan dikelompokkan pada sumber data primer dan data sekunder.
Data-data primer berupa teori-teori
dan kajian tentang fikih lingkungan dari dasar normatifnya maupun filosofinya. Data-data primer ini akan didukung dengan
data sekunder yang diperoleh dari pengamatan
penulis tentang realita yang ada di kabupaten tegal khususnya mengenai problem
lingkungan yang ada di Kabupaten Tegal, aktor lapangan yang terlibat dalam menjaga kelestarian alam serta data yang di hasilkan dari
dinas-dinas atau lembaga yang khusus menangani lingkungan hidup kemudian buku-buku yang hanya membahas bagian-bagian
dari fikih
lingkungan.
4.
Teknik analisis data
Pembagian data kepada primer dan sekunder akan
dikumpulkan dengan teknik dokumentasi dan data-data dari unsur yang terkait. Setelah seluruh data terkumpul, maka tahapan selanjutnya adalah
menganalisa data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisa konten dengan
melibatkan ushul fikih, qawa’idul fiqhiyyah dan fikih yang sudah
terbingkai dalam kajian pembahasan tentang fikih lingkungan secara padu dengan
memperhatikan konteks masalah masalah lingkungan yang ada di Kabupaten Tegal. Dengan
demikian, beberapa perangkat ilmu budaya seperti sosiologi dan antropologi juga
akan dilibatkan dengan mencukupkan diri pada hasil-hasil kajian para pakar yang
telah tersedia dalam bentuk dokumen sehingga akan memunculkan konklusi hukum Islam
tentang upaya dalam rangka menjaga alam di Kabupaten Tegal.
G.
Sistematika Pembahasan
Ragam topik
dalam penelitian ini akan dibahas ke dalam beberapa BAB. Yaitu:
1.
Bab Pertama: Pendahuluan yang berisi tentang Latar belakang dan perumusan masalah yang
berkaitan dengan urgensitas objek kajian
tentang fikih lingkungan, kajian pustaka terdahulu dan kerangka teori dalam
kajian ini, metodolgi penelitian dan teknik penelitian kemudian di teruskan
dengan sistematika pembahasan
2.
Bab Kedua, Membahas Tentang Konseptualisasi
Fikih Lingkungan Secara Komprehensif
Meliputi; konsepsi Fikih Lingkungan, Istilah, Definisi, dan Teori Tentang
Lingkungan, Ruang lingkup fikih lingkungan, Historisitas wacana fikih lingkungan
dan paradigma baru fikih lingkungan. Landasan teologis sebagai
Etika Pengelolaan Lingkungan Dalam Perspektif Islam, Mashlahah
Sebagai Kerangka Metodologis Fikih Lingkungan
3.
Bab Ketiga, Berisi tentang Potrait Realitas Lingkungan Di Kabupaten
Tegal, Kondisi Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal Dan Kecenderungannya, Tekanan terhadap
Lingkungan Di Kabupaten Tegal (Problem Lingkungan), Peran Pemerintah dan Masyarakat Pada Issue Lingkungan, dan Corak
keberagamaan masyarakat Kabupaten Tegal.
4.
Bab Keempat Membahas Tentang Analisis Problem Lingkungan Di Kabupaten
Tegal Dan Menanggulanginya Dalam Perspektif Fikih Lingkungan Yang Meliputi: Analisis problem lingkungan di
Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan, Pemberlakuan Hukum Dalam
Upaya Pelestarian Lingkungan Di Kabupaten Tegal dalam perspektif fikih
lingkungan, dan Analisis hukum cara menaggulangi problem lingkungan di
kabupaten Tegal dalam perspektif fikih lingkungan.
5.
Bab Kelima, berisi simpulan-simpulan atas beberapa rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.
[1] Musnahnya
harimau Jawa tidak hanya merugikan orang Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh
dunia. Musnahnya harimau Jawa sama
dengan terputusnya rantai ekosistem kehidupan di muka bumi.
Fahrudin M, Mangunwijaya aktif sebagai penulis lepas
mengenai lingkungan hidup dan konservasi alam di berbagai surat kabar dan
majalah-majalah. Pria kelahiran kumai (Kalimantan tengah) 10 november 1964 ini
merupakan mahasiswa pasca sarjana(s2) departemen biologi jurusan konservasi
fakutas matematika dan pengetahuan ala (FMIPA) universitas indonesia
[3] Salah satu pakar hukum Islam yaitu Mujiyono Abdillah; guru besar
IAIN semarang dan Ilyas Supeno dosen UIN makasar.
[4] Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan
Lingkungan”, http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2007/022007/16/0902.htm,
diakses tanggal 20 September 2013
[5]Alkadri, Tiga
Pilar Pengembangan Wilayah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah-BPPT. Jakarta. 1999
[6]Buku laporan, Arsip Lembaga Bantuan Lingkungan Hidup Kabupaten
Tegal, Kabupaten Tegal 2012
[7]Muchsin al-Fikri, “Fikih Lingkungan dan Kearifan
Lokal”, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/04/
renungan_jumat.htm,
diakses tanggal 20 September 2013
[8]Muhammad Mawhiburrahman, Menggagas
Fikih Lingkungan, http://muhammad
mawhiburrahman.blogspot.com 2013/05/ menggagas- fikih-lingkungan.html,diakses
tanggal 20 September 2013
[9]Alie
yafie, merintis fikih lingkungan hidup (jakrta; ufuk, 2006)
[10] Kemunculan
wacana fikih lingkungan bisa ditelusuri belum lama ini.Sebuah survei
historis-arkeologis yang lebih komprehensif tentu tetap harus dilakukan untuk
menandai secara pasti sejak kapan istilah ini menjadi kosa kata baru dalam
wacana keislaman (dan hukum Islam) kita secara umum. Namun, menurut pengamatan
terbatas penulis, wacana fiqh lingkungan mengemuka kurang lebih saat Yusûf
al-Qardlâwî, guru besar fikih dari Syiria yang pandangan-pandangannya populer
di negara kita, menulis karyanya yang berjudul Ri'âyah al-Bîah fî Syarî'ah
al-Islâm pada tahun 2001 yang lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa tahun-tahun
sebelumnya wacana ini telah populer dalam diskursus ilmiah di Arab sana. Tetapi
bila kita lihat "fluktuasi" perkembangan wacananya di Indonesia,
secara hipotetis bisa dikatakan bahwa wacana ini merupakan "rintisan"
al-Qardlâwî. Seolah menindak lanjuti gagasan al-Qardlâwî, pada tahun 2006
KH.Ali Yafie kemudian menerbitkan buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Menyetujui
gagasan al-Qardlâwî, Ali Yafie yang juga seorang faqîh di Indonesia,
mewacanakan perlunya suatu landasan baru untuk memperluas kajian fiqh hingga
merambah persoalan-persoalan lingkungan. Gagasan Ali Yafie ini seolah
mengiringi serangkaian buku dan tulisan yang terbit dua atau tiga tahun
sebelumnya tentang "bidang baru" ini, seperti antara lain buku hasil
karya Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (2005).
[12]Ilyas
Supena, Jurnal ADDIN, Stud fikih Lingkungan (Sebuah Kajian Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis). 2009
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# (
¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ [13]
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu Amat zalim dan Amat bodoh,
[14]Soerianegara
dan Indrawan, A..Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 1988
[16] A, Tresna sastra wijaya, pencemaran
lingkungan, PT Rineka cipta, anggota IKAPI, Jakarta, 1991
[17]Hikmat Trimenda, “Islam dan Penyelamatan
Lingkungan”, http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2007/022007/16/0902.htm
[18]Maqâshid asy-syarî‘ah secara substansial mengandung kemashlahatan
yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama,
Maqâshid asy-Syarî‘ (tujuan Tuhan) dan kedua Maqâshid al-mukallaf (tujuan
mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqâshid asy-syarî‘ah mengandung
empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari‘ dalam menetapkan syari‘ah,
yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan syari‘ah sebagai sesuatu
yang harus dipahami, (3) penetapan syari‘ah sebagai hukum mukallaf yang harus
dilaksanakan, (4) penetapan syari‘ah guna membawa manusia ke bawah
lindungan hukum. Sedangkan maqâshid asy-syarî‘ah ditinjau dari
sudut tujuan mukallaf aialah agar setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan
syari‘ah yang digariskan al-Syari, sehingga tercapai kemashlahatan manusia di
dunia dan akhirat.Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta:
Logos, 1999), halm. 43
[19]Imam
Syathibi, al-Muwafaqat…, Juz II, hal. 7.
[22]Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah lingkungan terj. Hakam
shah (jakarta; pustaka al kaustar)
[23]Ayat-ayat
yang berkaian dengan seluruh spesies adalah QS.1;1, QS. 2;13 QS. 5;25, QS.6;45.71.162
QS. 7;54.6167.104.121 dll.
[24]
Ayat ayat yang bermakna jagad raya adalah QS.2;22 ruang udara QS 2;164, QS
14;24, QS 16;79
[25]
Fiqih lingkungan (Fiqh al-bîah) Laporan hasil kajian Indonesia Forest
and Media campaign (
INFORM ) pertemuan menggagas fiqh lingkungan ( Fiqh al-Bi’ah ) oleh
ulama Pesantren di Lido sebagai editor Ahsin Sakho
Muhammad, Husein Mumammad, Roghib Mabrur, Ahmad Sudirman Abbas, Amalia Firman,
Fachruddin Majeri Mangunjaya, Kamal IB. Pasha, Martha Andriana,
Sukabumi, pada tanggal 9-12 Mei 2004.
[26]Alie
yafie, meintis fiqih lingkungan hidup(jakrta; ufuk, 2006)
[27]
Lima komponen dasar kehidupan tersebut adalah perlindungan jiwa (hifzh al nafs) perlindungan akal (hifzh
al-aql) pelindungan kekayaan atau
properti (hifzh al-mal) perlndungan
agama (hifzh al-din) dan ke enam komponen kehidupan yang mendasar adalah jiwa (hifzh al-nafs)
perlindungan akal (hifzh al-aql) perlindungan kekayaan atau property (hifzh
al-mal) perlindungan keturunan (hifd al-nasb) perlindungan agama(hifzh
al-din) dan perlindungan kehormatan manusia (hifd al-ird).
Ibid halm. 224-225
[28]Lihat
Yusuf al-qordhawi, Islam Agama Ramah
Lingkungan terj. Hakam shah (Jakarta; pustaka al kaustar)
[30]Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Riser Sosial, cet. VII,
Bandung : Mandat Maju, .1996 hal. 33
[31]ArmaiArief,
PengantarIlmudanMetodologiStudi Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002 cet.1. halm.
100-101
[32]Muhammad Abid al Jabiri.. Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi : Dirasah Tahliliyyah li
Nudzum al Ma’rifah fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah, 2009 cet. IX, Beirut : Markaz Dirasat al Wahdah al
‘Arabiyyah, halm. 383
[33]Amir Mu’allim dan Yusdani. Ijtihad
dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta : UII Press, .2004 halm. 109
T-10Ti Titanium Spinning Blades for Blades
BalasHapusThe T-10Ti- Titanium Spinning Blades have a raft titanium diameter of 25 cm and solo titanium razor a thickness of 15 cm. These blades 2020 escape titanium are made to make a spin from burnt titanium the steel base and start spinning. microtouch titanium trim reviews