Jumat, 08 November 2013

QONUN WA TAQNIN (PERHELATAN DUNIA KONSTITUSI DI INDONESIA) OLEH : SYAMSUL FALAH



QONUN WA TAQNIN
(PERHELATAN DUNIA KONSTITUSI DI INDONESIA)
OLEH : SYAMSUL FALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Ada keresahan intelektual, ketika kita menyaksikan dikotomi yang terlalu tajam antara istilah “hukum islam dan hukum umum yang identik dengan hukum positif jadi ada ungkapan “hukum islam versus  hukum umum atau hukum islam versus hukum positif dilkotomi ini semakin parah ketika kuemudian mempunyai daerah daerah masing[1]
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya. Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
Fenomena qonun dan wacana taqnin al-ahkam dalam hukum Islam merupakan salah satu persoalan yang memicu kontroversi luas di kalangan umat Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula kubu yang menentangnya, bahkan dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin al-ahkam termasuk wacana yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin hukum-hukum Islam juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk Orde Reformasi seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai daerah. Banyak perda-perda syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling banyak menyita perhatian, tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan undang-undang (qanun) Syariat tentang beberapa hal tertentu.
Fenomena perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal juga dengan gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda, terutama perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap domain privat masyarakat.
Dengan hal tersebut penulis mencoba menguak ada apa di balik qonun dan proses pen-Taqnin -an di indonesia, banyak berbagai hal yang menarik yang perlu di bahas dalam pembahasan qonun dan taqnin dalam memaetakan dalam membingkai persoalan-persoalan qonun dan taqnin di indonesia.
 Dinamika inilah yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis makalah ini. Harapan penulis, semoga bermanfaat dalam rangka memperkaya hazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang filsafat hukum islam yang konsentrasi di pembahasan yang ber tema qonun wa taqnin.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.       Apa konsep qonun wa taqnin
2.      Apa pengertian qonun dan taqnin
3.      Bagaimana potret qonun dan taqnin di Indonesia
C.    TUJUAN
1.      Mengetahui secara metodologis qonun wa taqnin sebagai penerapan hukum islam
2.      Mengetahui hakikat qonun dan taqnin
3.      Mengetahui fenomena qonun dan taqnin di indonesia
4.      Merumuskan sikap dan pandangan tentang aplikasi hukum islam di indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
1.      TINJAUAN EPISTEMOLOGI
Fiqih Sebagai Formulasi Hukum Islam (Spirit Pembentukan Qonun)
Secara epistemologi al qur an dan assunah merupakan sumber yang paling otoratitaif dalam hukum islam, penelaahan bahasa, penalran akal, dan kjain realitas empiris dengan menggunakan berbagai perspejtif bidang ilmu dalam uapaya menetapkan hukum islam, semuanaya di tunjukan untuk menarik kesimpulan dari dua sumber hukum islam tersebut.ketika dua sumber tersebut sudah di temukan dalam bahan baku sumber –sumber hukum islam tersebut maka di kelolanya dengan bentuk hukum islam yang secara praksis yang tertuangdalam teks- teks fiqh. Di dalam sejarah nya istilah fiqh  mengalami perkembangan yang mencakup setidakna tiga fase.[2] Pertama fiqh berarti faham ( fahm atau understanding ). Fiqh identik dengan makn ra’yu ( pendapat pribadi dari fuqoha atau ahli fiqh ) . Kedua di artikan sebagai pengetahuan “ knowladge “ yang menjadi identik dengan pemikiran tentang agama atau pemikiran tentang agama dan yang ke tiga fiqih berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan atau ilmu ilmu keislaman yakni hanya disiplin hukum islam ada yang menyebutnya hukum positif islam atau ilmu hukum islam.
Istilah ‘Hukum Islam’ sama sekali tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada adalah syari’ah, fiqh, hukum Allah atau yang seakar dengan itu. Dalam literatur hukum dalam Islam adalah syari’ah Islam, fiqh Islam dan hukum syara’. Dengan demikian, istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia yang diterjemahkan dalam literatur barat secara harfiah, yaitu Islamic Law.
Mengenai definisi hukum Islam ini, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda dikalangan ahli hukum Indonesia. Muhammad Hasbi As-Shiddiqiy mendefiniskan Hukum Islam itu dengan koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melihat definisi yang dikemukakan Hasbi ini, kita dapat melihat bahwa beliau mendefinisikan hukum Islam dengan makna fiqh.
Amir Syarifuddin, ahli Hukum Islam lainnya mendefinisikan Hukum Islam itu dengan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa ia mencakup syari’ah dan fiqh karena arti syara’ dan fiqh terkandung di dalamnya. Dengan demikian, jika ada yang mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan tetap maka yang dimaksudkan adalah hukum Islam dalam pengertian syari’ah. Sedangkan jika dikatakan hukum Islam itu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman dan masa maka itu adalah hukum Islam dalam pengertian fiqh.
Menurut Pete Seda, Islamic Law atau hukum Islam hanya berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya (tentang tata cara menyembah Tuhan dan bagaimana berbuat kepada yang lain). Melihat statemen ini, maka pengertian hukum Islam dapat disamakan dengan syari’at Islam, namun dalam prosedur tataran aplikatif. Jadi, Hukum Islam itu, dalam bahasa Mohammad Daud Ali (1996) , mempunyai dua istilah kunci yakni (a) syari'at dan (b) fikih. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad dan fikih adalah hasil pemahaman manusia tentang syari'at.Dengan kata lain, Hukum Islam merupakan hukum yang ditetapkan atas keduanya ( syari’ah dan fiqh ) tentang perilaku umat yang beragama Islam.
A.    Fiqih Sebagai Ilmu Hukum
Secara lebih populer fiqh biasanya di definisikan dengan : al ilm bil ahkam alsyariyyah alamaliyyah almuktasabah min adilatiha al tafsiliyyah ( Ilmu yang mempelajari hukum-hukum syar’i  yang berkaitan dengan perbuatan atau tindakan ( bukan aqidah ) yang ditetapkan dalil-dalilnya yang spesifik.[3] Fiqih juga di definiskan oleh abu ishhaq asyaerozi yaitu mengetahui ( menemukan ) hukum syar’i yang caranya dengan ijtihad [4], setelah menjadi suatu disiplin tersendiri istilah fiqh biasanya di artikan dengan hukum islam atau ada yang menyebutnya dengan hukum positif islam. Secara umum yang paling tepat adalah ilmu hukum islam (islamic yurisprudensi) yang memuat yang berupa hukum materi hukum bahkan juga prosedur dalam proses di pengadilan ( hukum acara, fiqh murofaat) seperti dalam definisi yang menyebutkannya sebagai kumpulan hukum.[5]
B.     Fiqih sebagai norma hukum
Dalam realitasnya fiqih yang di hasilkan para ulama selama ini umumnya merupakan pemahamanan dan interpretasi para ulama terhadap Ahkam Assyariyyah dan bukan terhadap syariah itu sendiri. Hukum Islam atau fikih sebagai norma hukum ini dengan demikian merupakan dielektika antara adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat  ( termasuk hukum adat dan hukum positif yang berlaku ). Perlu adanya penegasan fiqih sebagai norma hukum ini adalah karena sebagaimana di kemukakan fiqih di samping memuat norma hukum juga masih kental dengan dengan muatan norma moral. Memang pada dasarnya aturan hukum dalam Islam adalah untuk menegakan nilai moral yang di kandungnya, namaun apabila norma moral yang menonjol maka terkadang akan mengesampingkan penegakan aturan hukum itu sendiri misalnya dalam kitab fiqih dan mungkin dalam beberapa aturan perundangan kebolehan berpoligami ( berdasarkan Q.S An-Nisa (4) ayat 3 di tetapkan sebagai aturan hukum yang positif  namun syarat adil untuk berpoligami hanya di pandang sebagai anjuran moral semata sehingga kemudian keadilan tersebut di pandang sebagai anjuran moral saja.
Dalam konteks indonesia, maka fikih sebagai norma hukum Islam merupakan seperangkat aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syariah dengan adat kebiasaan masyarakat indonesia,[6] yang di rumuskan secara sadar dan sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam masayarakat. Aturan hukum Islam di Indonesia tersebut di samping secara filosofis harus memuat  dan sesuai dengan nilai-nilai syariah, juga secara sosiologis harus sesuai kondisi sosial budaya masyarakat sekitar.

C.     Objektifikasi Hukum Islam Di Indonesia
Syariah Nabi Muhammaad yang bersumber dari alqur an dan as-sunah adalah pedoman dan petunjuk hidup ( hudan lin nas ) dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta ( rahmatan lilalamin )[7] ini berarti bahwa syariah pada dasarnya tidak hanya berlaku pada orang orang Islam saja tetapi berlaku untuk seluruh manusia dan menjadi rahmat bagi semua. Norma hukum Islam, merupakan derivasi dari syariah juga seharusnya demikian, yaitu tidak hanya menjadi pedoman dan berlaku untuk orang islam tetapi juga umat lainnya.[8] Hanya saja hukum Islam sebagai mana di kemukakan adalah hasil dari dialektika antara nilai-nilai syariah yang ideal dengan kebiasaan masyarakat lokal yang berlaku, sehingga antara satu tempat dengan tempat lain atau satu negara dengan negara lain bisa saja hukum Islam nya berbeda karena adanya perbedaan kondisi sosial dan budaya masing-masing. Untuk memberlakukan dan memaksimalkan kontribusi hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional, formulasi hukum Islam tidak saja harus sesuai dengan kondisi sosial budaya Indonesia, tetapi juga harus di terima oleh mayoritas warga negaranya. Karena itu hukum Islam harus bersifat objektif dalam arti bahwa rumusan hukum Islam tersebut dapat di terima oleh semua warga negara karena memang di pandang sesuai oleh mereka.
Objektifikasi hukum Islam dengan demikian tetap memandang hukum Islam sebagai sumber,  namun untuk dapat menjadi hukum Yang di undang-undangkan, hukum Islam harus di objektifikasikan terlebih dahulu dengan melibatkan seluruh warga negara yaitu melalui perwakilan yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melakukan objektifikasi hukum Islam, atau dengan kata lain untuk menjadikan hukum Islam bersifat objektif sehingga dapat di terima oleh seluruh warga negara Indonesia dan pada gilirannya dapat di jadikan sebagai hukum Nasional, maka perlu di rumuskan metodologi pen-taqnin-an yang sistematis yang dapat mendialogkan antara nilai-nilai yang terkandung dalam alqur an dan as sunah sebagai sumber hukum Islam dengan realitas masyarakat yang akan di terapkan dalam hukum tersebut.
Melihat apa yang di paparkan di atas maka secara tinjauan epistemologi dan methodologi nya melihat teori-teori yang di kembangkan di atas berarti kanun atau qonun (undang-undang yang ada ) mempunyai spirit dan values yang di ambil dari fiqih yang pembahasannya lebih kepada hukum-hukum yang sudah di ijitihadi oleh para ulama kemudian menjadi sandaran oleh para qodly dalam merumuskan fiqh ke dalam qonun dalam sebuah negara.
2.      TINJAUAN ONTOLOGI
A.    QONUN ( hakikat Qonun )
1.      Pengertian Qonun
Kanun atau qonun berasal dari bahasa yunani yang masuk menjadi bahasa arab melalui bahasa suryani, yang berarti “ alat pengukur ‘ kemudian berarti ‘kaidah” dalam bahasa arab kata kerjanya qonna yang artinya membuat hukum ( to make low, to legislate ). Kemudian kanun dapat berarti hukum ( law ), peraturan ( rule,regulation ), undang-undang (statute, code). Dalam buku nya al-ahkam al shultoniyyah yang biasa di terjemahlkan dengan “ hukum tata negara dalam Islam” AL Mawardi (W.450/1058) sudah memakai qonun dalam beberapa kesempatan yang berarti mempunyai konotasi atau spesifikasi yang tidak selalu sama, umpamanya qowanin al syahsiyyah ( ketentuan hukum dalam wilayah politik atau hukum publik ) hifzh al syar iyyah wa harasat al ahkam ad diniyyah ( menjaga hukum publik yang berdasarkan syariah dan memelihara hukum agama ) Al qowwanin muqorrarah (undang-undang ).[9]
Dengan adanya penggunaan istilah qonun oleh Mawardi, maka anggapan bahwa istilah qonun baru mulai di pakai masa modernisasi ( tanzimat ) di Turki dengan adanya al majallah al ahkam al adliyah ( arti leterleknya kitab hukum keadilan / the book of rules of justice ; atau sering di artikan dengan civil code )  itu tidak tepat. Namun bahwa istilah qonun itu sangat populer sejak penggunaanya di Turki tidak dapat di tolak. Memang majalah itu merupakan contoh paling awal tentang hukum Islam dengan bentuk undang-undang  ( hukum modern model law system ) yang sekaligus mempunyai kekuatan  memaksa seperti undang-undang yang secara umum. Di sini pada umum nya istilah qonun di pakai hukum yang berkaitan dengan masyarakat bukan ibadat, khususnya undang-undang atau hukum publik. Di samping qonun berarti hukum atau hal-hal yang berisi hukum, qonun juga berarti pendaftaran dan list ( daftar ) rekaman pajak tanah ( registers and list recording land-taxes)
Dalam penggunaaanya, mahmassani menyebutkan bahwa qonun mempunyai tiga arti :
1.      Kumpulan peraturan-peraturan hukum atau undang ( kitab undang-undang). Istilah ini di pakai qonun pidana usmani ( KUH pidana turki usmani), qonun perdata lebanon (KUH Perdata Lebanon), Dan lainnya.
2.      Istilah yang merupakan padanan dengan hukum. Jadi kita dapat menggunakan istilah ilmu qonun sama dengan ilmu hukum. Qonun Inggris sama dengan  hukum Inggris, qonun Islam sama dengan hukum Islam, dan lainnya.
3.      Undang-undang. Perbedaan pengertian yang ke tiga ini dengan pengertian pertama adalah bahwa yang pertama lebih umum dan mencakup banyak hal,\ sedangkan yang ketiga khusus untuk permasalahan tertentu. Umpamanya qonun perkawinan sama arti nya dengan undang-undang perkawinan. Dapat juga di di pakai untuk ungkapan “ DPR dan Pemerintah sedang menggodog qonun tentang larangan minuman keras”. Qonun dalam pengertian ini hanya mengenai hukum yang berkaitan dengan muaammlat, bukan ibadat, dan mempunyai kakuatan hukum yang pelaksanannya tergantung negara. Disini beda dengan pembahasan hukum islam pada umumnya yang biasanya selalu mencakup muammalat dan ibadat[10]
Sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan undang-undang , maka qonun ini mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk pelaksanaanya, persis seperti undang undang. Yaitu, ada pelaksanaan dan penegak hukum, ketika sudah mencapai putusan hakim di pengadilan. Negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan hakim tadi.
Dalam sejarahnya , di Turki Istilah qonun ini di pakai pada abad 19 untuk hukum atau undang-undang  yang mengatur segala jenis hukum sekular yang biasanya berasal dari pengaruh model eropa.[11] Meminjam istilah mahassami, sebagai berikut :
Pada zaman usmani kata-kata qonun sering di pakai istilah hukum untuk aturan-aturan hukum yang  di buat oleh negara yaitu untuk  membedakan antara hukum syariah, terutama dalam hal bilamana terdapat perbedaan hukum pada masalah tertentu antara kanun dengan syariah. Misalnya ketentuan larangan riba menutut syariah dimana undang-undang membolehkan pemungutan bunga bank.[12]
Dalam perkembangannya, qonun dapat lah kita identikan dengan undang-undang di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang berupa :
1.      Mengatur hal-hal yang berkaitan antara sesama manusia ( terutama sekali masuk wilayah muammalat atau keduniaan ) sangat jarang mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah , yang mahdloh ( murni ).
2.      Berisi hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokok ketentuan dari nash nya dan dalam waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar urf, istihsan, atau mashlahah. Pada mulanya qonun di teorikan bahwa qonun itu untuk mengatur hal-hal yang belum ada ketentuan hukum  di dalam syariah, namun perkembangan berikutnya lebih menekan kan pada Istihsan dan mashlahah yang juga mendasarkan urf. Dengan demikian  qonun berarti mengislamkan ketentuan yang asalnya tidak secara murni dari Islam karena adat kebiasaan dan semacamnya. Di sini sangat terbuka untuk terjadinya pengaruh dari hukum dari sistem lain, baik dari roman law system maupun dari camon law system.
3.      Qonun sekaligus berarti telah memilih  salah satu dari sekian banyak perbedaan pendapat ( ihktilaf ) dikalangan ahli hukum Islam ( mujtahidin / fuqoha ) untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh masyarakat, terutama ketika qonun ini merupakan produk lembaga legislatif, maka qonun juga berarti mempunyai nilai konsesus atau ijma, meskipun di anggap  terbatas hanya pada negara tertentu saja.
4.      Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum ( mashlahah mursalah ) dengan dalih siyasah syar’iyyah ( politik hukum ). Dengan alasan terkadang  kepentingan negara  atau bahkan pemerintah nampak menonjol. Disini sering terjadi konflik antara pendukung konsep qonun yang terkadang dengan alasan reinterpretasi terhadap hukum Islam di pahami selama ini para Ulama yang mengikat kan dirinya untuk konsistensi terhadap hukum  yang mereka pahami selama ini. Dalam suasana seperti ini pula ketika qonun pertama kali di Turki muncul.
5.      Berupa undang-undang resmi produk Lembaga Legislatif atau lembaga Eksekutif yang mempunyai Legislatif. Dalam sejarahnya memang tidak selalu bernama undang-undang dan juga tidak selalu produk legislatif, namun dapat berupa titah raja atau penguasa. Dengan demikian, maka qonun mempunyai kekuataan mengikat dan sekaligus jika sudah di putuskan akan ada alat negara untuk eksekusi terhadap putusan atas dasar qonun tersebut.
Atau dapat di sederhanakan bahwa qonun adalah undang-undang yang di klaim berisi hukum Islam, seperti dengan menggunakan alasan istihsan, urf atau mashlahah, dan siyasah syariyyah. Dengan demikian, maka ketentuan hukum yang ada di dalamnya menjadi bernilai Islam, di satu sisi, dan mempunyai kekuatan yang didukung oleh negara , disisi lain. Dalam praktik, tidak jarang nuansa syiyasah syar’iyyah sangat menonjol, yang tidak lepas dari kepentingan politik penguasa pada masanya. Ketika qonun di teorikan seperti ini, maka kalau kita memberi contoh dari Indonesia adalah Undang-undang NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[13]
2.      Macam-Macam Qonun Di Indonesia
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.       UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b.      UU RI No.  7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3,72006
c.       UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil
d.      UU RI No.10/1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
e.       UU RI No.  17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Ají
f.       UU RI No. 38 TAHUN 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
g.      UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
h.      UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
i.        UU RI No. 16 TAHUN 2001 Tentang Y A Y A S A N
j.        UU RI No 41 TAHUN 2004 Tentang Wakaf
k.      UU RI No 3 TAHUN 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
l.        UU RI No 19 TAHUN 2008 tentang surat berharga syariah negara
m.    UU RI No 21 TAHUN 2008 Tentang Perbankan Syariah
n.      UU RI No. 13 TAHUN 2011 Tentang pengelolaan Zakat
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a.       PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b.      PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
c.       PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d.      Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e.       Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan ( Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses Islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia etap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.

TINJAUAN AKSIOLOGI
3.      Fungsi Qonun  ( Qonun Sebagai Manifestasi Masyarakat Yang Ideal )
Hukum islam yang sudah di qonun kan dalam tata hukum di indonesia selama ini hanya  berkiprah di bidang hukum perdata (islam), khusus nya di bidang keluarga. [14] sementara dalam bidang hukum lain, hukum islam  dapat di katakan belum memberiakan kontribusi apa pun bagi perkembangan hukum positif di indonesia, sehingga seakan-seakan bidang hukum tersebut bukan menjadi urusan umat islam indonesia. Padahal, sebagaimana di kemukakan  dalam pendahuluan bahwa ajaran isla, termasuk bidang hukum nya, padadasarnya adalah menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta. Ini berartiseharusnya norma hukum islam dalam berbagai bidangnya tersebut dapat sesuai bagi seluruh umat manusia dan tidak hanya khusus bagi umat islam yang tentu saja dalam pelaksanaanya meyesuaikan dan kebutuhan masyarakat stempat.
            Produk per undang-undangan yang bahannya berasal hukum islam tersebut adalah undang-undang oerkawinan undanmg –undang peradilan agama kompilasi hukumn islam, undang-undangbtentang penyelengaraaan haji, undang-undang tentang pengelolaan zakat. Undang-undang tentang wakaf, undang tentang perbankan syariah kecuali undang-undang tentang penyelengaraan ibadah haji, semuanay berkaiatan dengan  hukuim perdata islam yang kewenangannya di tangani oleh pengadilan agama.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa hukum Islam.
Konsepsi negara berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ) memiliki muatan ciri-ciri berikut
;1).Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia;
2). Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan;
3). Pemerintah berdasar undang-undang;
 4). Prinsip Keadilan;
5). Prinsip kesejahteraan rakyat.
Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah arahnya yakni secara kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga,hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila ); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu No.l /SD 1946 dan No.5 / SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang peradilan Agama.

B.     TAQNIN
a.       Pengertian Taqnin
Secara etimologis, kata taqnin ( تقنين ) merupakan bentuk masdar dari qannana ( قَنَّنَ ), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[15] Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidahpenetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[16]
b.      Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[17] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[18]
Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[19]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Namun para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[20]
C.     Potret Fenomena Taqnin ( PRO dan Kontra Taqnin )
1.       Dasar Pemikiran Taqnin di Kalangan Ulama Klasik
Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.
Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[21]
Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad: 26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[22] Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil penn pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.”[23]
Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang-undang yang telah disahkan penguasa.
Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat Alquran:
Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[24]
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ   .
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
2.      Para Pendukung Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mayoritas para ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14] Selain mereka, yang juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah Musthafa az-Zarqa,[15] Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.[25]
Di antara dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:
  1. Firman Allah Surah an-Nisa: 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[26]
Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut, jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.[27]
  1. Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]
  2. Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
  3. Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.
  4. Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
  5. Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[28]
2.           Para Penolak Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mereka yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[29] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[30] Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.
1.      Allah telah memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan adil (al-qisth) dalam firman-Nya:
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)
Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah: 42).
Kata al-qisth berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.
2.      Dalam menetapkan hukum, seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan prinsip tauhid, yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu karena sang hakim yang menaati undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum daripada pendapat Rasulullah yang mas’hum. Padahal Allah juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Hujurat: 1).
3.      Sabda Rasulullah SAW:
Hakim itu ada tiga macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Dua, hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim ini juga masuk neraka.”[31]
Hadis di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini. Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak demikian.
4.      Mengharuskan para hakim untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di zaman Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang salaf yang saleh. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti itu terjadi di zaman Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur mengusulkan kepada Imam Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan demikian, wacana taqnin adalah sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.
5.      Undang-undang hukum positif yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai negara, ternyata sering kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Keputusan-keputusan pengadilan sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.
6.      Keharusan untuk mengadakan taqnin akan justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan keputusan.
7.      Perselisihan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah ar-Rasyidin dan para salaf saleh. Bahkan terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimana pun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Bagaimana pun, pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.
8.      Ketika melongok kepada berbagai kitab fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka, tetap mereka memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat, bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[32]
Analisis Taqnin Di Indionesia (Formal Vs Kultural)
Kalau kita amati, masyarakat Indonesia khususnya para tokoh di Indonesia yang terlibat dalam pembahasan mengenai hukum Islam, setidaknya ada dua kelompok yang menekankan pada pendekatan normatif atau formalisme dan kelompok yang menekankan pada pendekatan kultural (budaya). Pendekatan ini sebagai perwujudan kehidupan politik dari masing-masing kelompok ; atau justru sebaliknya, yakni bahwa cerminan politik mereka sebagai wujud keyakinan terhadap jenis pendekatan tersebut. Hal ini juga sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan bagaimana cara menerapkan hukum Islam, ketika kita sepakat bahwa hukum Islam merupakan salah satu dari tiga bahan baku dalam pembinaan hukum nasional, disini akan ada dua pendekatan yaitu : formal dan kultural, sebagai berikut :
Pertama, pendekatan formal atau normatif. Menurut pendapat ini, hukum Islam harus di terapkan kepada mereka yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat atau sudah masuk islam. Istilah  “positivisasi hukum islam “ tidak akan populer, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama islam harus dengan serta merta menjalankan atauu di pakasakan untuk meneriama hukum islam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu proses kehidupan politik, termasuk paratai politik, adalah dalam rangka atau sebagi alat untuk menerapkan hukum islam secara normatif dan formal ini. Konsekwensinya, pelaksanaan harus selalu di perjuangkan,oleh karena meruapakan satu-satunya cara untuknpenerapan hukum islam secara forml kalau perlu di pakasakan di negara di indonesia. Jika di tarik lagi dari sisi ekstrimitas, pendekatan ini menjadi skripturalisndan tekstualis yang biasanya kurang mempertimbangkan kontekstual dan lingkungan sosiologis. Pada dasarnya pendekatan normatif saja tidak selalu jelek, oleh karena akan dapat di posisikan sebagai pengontrol. Namun, jika berlebihan akan sampai pada skriptualis dan pemakasaan tadi. Sampai batas ini, upaya posivitasasi tidakmerupakan jawabannya. Oleh karena cenderung pada pemaksaan secara formal ideologis. Dan jika pendekatan ini di terapkan sering ada persoalan yang muncul, yaitu hukum islam yang mana? Pertanyaaanya ini sangat serius, terutama sekali ketika dapat kita temukan terjadinya perbedaan pendapat tentang hukum islam itu sendiri. Hal-hal seperti inilah yang sering terjadi sebagai  ekses upaya pengislaman di beberapa negara timurtengah yang kemudian tidak pernah selesai. Tampaknya, pertanyaan tentang hukum islam yang mana yang akan di terapkan, seandainya perjuangan menerapkan piagam jakarta itu berhasil, ini bukan masalah kecil, namun dapat menjadi masalah serius.
Kedua. Pendekatan kultural. Menurut pendapat ini , yang terpenting bukan formalisme penerapan hukum Islam atau dengan pendekatan normatif ideologis. Namun, penyerapan nilai-nilai hukum islam ke dalam masyarakat itulah yang justru lebih penting. Barang kali dapat kita jadikan salah contoh pendekatan yang kedua ini adalah ungkapan KH.MA. Sahal Mahfudh, ketua Umum MUI pusat dan Rois Amm PB NU, Mengenai hukum Islam dalam kerangka hukum nasional. Menurutnya, terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat madani. Dengan demikian, harus dimulai dengan menyerap nilai-nilai hukum universal tersebut diatas dalam kerangka kemasyarakatan yang proporsional”. Nilai-nilai hukum universal yang di maksudkan itu meliputi keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyaraakat tak seagama, dan menjujung tinggi supremasi hukum Allah. Maksudnya adalah bahwa nilai tersebut harus di upayakan tertanam dan terimplementasikan dalam segala unsur masyarakat pendukung nya ‘.dengan istilah penyerapan nilai maka berarti bahwa prosesnya itu bersifat kultural, bukan pemaksaan secara normatif tadi. Dengan pendekatan secara kultural seperti ini, KH. Sahal yakin “ akan memperkecil kendala yang ada pada tahap implementasi”. Oleh karena itu, menurut KH Sahal labelisasi yang sering muncul menimbulkan sikap anti pati dan kecurigaan dari masyarakat juga hendaknya di minimalkan “. KH. Sahal juga mengatakan bahwa  menciptakan masyarakat madani dalam konteks ke Indonesiaan dari kaca mata hukum islam, dengan demikian tidak “dengan atau “tanpa hukum islam, namun lebih kepada mempertimbangkan dan menyerap nilai-nilai moral positif yang terkandung dalam hukum islam itu sendiri. Menerapkan hukum islam dalam arti formalisasi hukum  islam terkadang belum merupakan solusi yang terbaik bagi proses formulasi  hukum yang ideal bagi sebuah masyarakat yang madani. Demikian pula eliminasi hukum-hukum yang ada dalam masyarakat, khususnya hukum islam dalam proses tersebut juga baukan merupakan langkah yang bijaksana, karena bagaimanapun keberadaanya, baik sebagai sebuah nilai maupun sebagai sebuah peraturan yang berlaku tetap mendapatkan legitimasi yang kuat dalam masyarakat indonesia, terutama hukum islam, harus tetap di biarkan leluasa. Ini untuk merangsang agar hukum-hukum tersebut bisa lebih berkembang dinamis yang pada gilirannya juag akan memberikan sembangan yang dinamis pula perkembangan hukum indonesia secara keseluruhan.[33]Dari uraian tersebut jelaslah posisi dan upaya serta pendekatan yang di lakukan oleh kelompok kedua atau kelompok kedua ini ungkapan dan sekaligsu pendekatan pertama tersebut dapat di katakan berlebiahan

D.    Tawaran Konsep Taqnin Di Indonesia
Qanun adalah hasil dari positivasi hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. Fikih dan fatwa dalam konteks keindonesiaan termasuk hukum tidak tertulis; namun ia bisa dikembangkan oleh pihak-pihak regulator menjadi hukum tertulis karena kewenangan istimewa yang dimilikinya (asas deskresi) berdasarkan peraturan perundangan. Proses pengubahan fikih dan fatwa menjadi qanun atau undang-undang/peraturan disebut taqnin. Proses taqnin yang dimaksud mencakup: Pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum, Penelitian atau pengkajian hukum yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan, pengundangan atau penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, dan Tambahan Berita Negara.
Metodologi fiqih indonesia bisa di gagas dan para pemikir yang ada lebih memokuskan pada formulasi dan pemberlakuan hukum islam khusus bagi orangislam ,indonesia sehingga hukum islam belum maksimal dalam memberikan kontribusi bagi pembentukan aturan-aturan atau rancangan-rancangan perundangan nasional yang akan di berlakukan bagi semua warga negara.dalam rangka pengembangan metodologi fiqih indonesia ini di perlukan landasan konseptual tersebut adalah reinterpretasi terhadap relasi istilah-istilah addin (agama, syariah, dan fiqih dengan menambahkan istilah hukm-hukum partikular islam.
Berangkat dari konseptul tersebut langkah-langkah yang di tempuh bagi fiqih indonesia adalah : Pertama, dialektika secara kritis di anara ahkam syariah(teks partikular yang berisi aturan praktis), illat (kausa hukum0 hikmah ( signifikasi hukum) Annadhoriyyah al ammah (azaz-azaz hukum) maqosidu syariah(tujuan dasar syariah) analisis ini satu langkah yang bersifat normatif deduktif. Kedua yang di butuhkan dalam menganalisis permasalahan hukum tersebut adalah langkah yang bersifat empiris-induktif yaitu menganalisis permasalahan yang di kaitkan denganrealitas, pandangan, dan praktek di masyarakat, dalam hal ini urf indonesia, melalui penelitian lapangan aktual yang bersifat induktif Kemudian langkah, ke tiga adalah mendialektikakan  secara kritis antara ketetapan hukum normatif-idealis dan realitas empiris di masyarakat. Kemudian langkah ke empat adalah dialektika tersebut di objektifikasikan dengan konteks indonesia yang bhineka.[34]














BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai pembahaasan qonun dan Taqnin tersebut sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1.      Spirit qonun dan proses pembentukan qonun atau pentaqninan (perundang-undangan) adalah merupakan spirit fiqih
2.      Untuk dapat menjadi hukum Yang di undang-undangkan, hukum Islam harus di objektifikasikan terlebih dahulu dengan melibatkan seluruh warga negara yaitu melalui perwakilan yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melakukan objektifikasi hukum Islam
3.      Produk per undang-undangan yang bahannya berasal hukum islam tersebut adalah undang-undang perkawinan undang –undang peradilan agama, kompilasi hukumn islam, undang-undang tentang penyelengaraaan haji, undang-undang tentang pengelolaan zakat. Undang-undang tentang wakaf, undang tentang perbankan syariah
4.      Kontroveesi tentang potrait pentaqninan hukum islam menuju hukum nasional sampai saat ini masih menjadi perbedaan yang memunculkan aliran formal vs kultural
5.      Konsepsi negara berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ) memiliki muatan ciri-ciri berikut : perlindungan Hak Asasi Manusia, Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan, Pemerintah berdasar undang-undang; Prinsip Keadilan,Prinsip kesejahteraan rakyat.
6.      Harus ada berbagai pendekatan yang harus di usahakan oleh para pemikir dan penggagas hukum islam ke dalam hukum nasional Pendekatan yang harus di lakukan meliputi Pertama, dialektika secara kritis diantara ahkam syariah (teks partikular yang berisi aturan praktis), illat (kausa hukum hikmah ( signifikasi hukum) Annadhoriyyah al ammah (azaz-azaz hukum) maqosidu syariah(tujuan dasar syariah) analisis ini satu langkah yang bersifat normatif deduktif
7.      Kedua yang di butuhkan dalam menganalisis permasalahan hukum tersebut adalah langkah yang bersifat empiris-induktif, ke tiga adalah mendialektikakan  secara kritis antara ketetapan hukum normatif-idealis dan realitas empiris di masyarakat. Kemudian langkah ke empat adalah dialektika terebut di objektifikasikan dengan konteks indonesia yang bhineka.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur an
Al Hadist
Prof. A. Qodri Azizi, Phd Hukum Nasional ‘Elektisitas hukum islam dan hukum Nasional, Kemenag RI, Cet 1 2011
Agus Moh. Najih, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia, Jakarta, Teraju, Cet 1 2004
Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.
Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu, Damaskus,Dar Al Kutub, tt
Sahal Mahfud “peran hukum islam dalam menciptakan masyarakat madani indonesia” paper dalam di IAIN Walisongo 2001
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni. Beirut. Dar Al Fikr, tt
Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.



[1] Prof. Qodri azizi Hukum nasional “elektisitas hukum islamdan hukum nasional hal4
[2]  Fazlurohman, islam (chicago ; The university of chicago), 1975
[3] Abd wahab khallaf, “ilmu ushul fiqh  (kuwait : dar al qolam, 19780)
[4] Abu Ishaq asyyaerozi, al luma fi ushul fiqh
[5] Ibid hal 30
[6] Ibid 149
[7] Dalam Q. S. Saba' 34 ayat 28
[8] Islam sebagai ilmu : epistemilogi, metodologi dan etika (bandung :teraju, 2005)
[9] Al-mawardi, al ahkam al shultoniyyah al wilayatuddiniyyah (kairo : mushtofa al babi al halabi)
[10] Subi mahassami filsafat hukum dalm islam (bandung almaarif, 1981)
[11]  Encyclopedia, IV :558
[12]  Mahassami, filsafat, 232
[13] Islamic law indonesia, mark cammack vol 38,hal 53-54
[14] Pengembangan metodologi fikih indonesia dan kontribusinya bagi pembentukan hukum nasional, agus muh najih
[15] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.
[16] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.
[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.
[18] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha fi al-Islam, hal. 115.
[19] Siar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.

[20] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.
[21] Majmu al-Fatawa, juz 35, hal. 357, 360, 372, dan 373.

[22] Al-Mughni, juz 14, hal. 91; al-Majmu’, juz 20, hal.128.
[23] Al-Fatawa, juz 30, hal. 79.
[24]QS: an-Nisa: 58
[25] Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, hal. 438
[26] Q.S an-Nisa: ayat 59
[27] Ibid., hal. 440.

[28] Ibid., juz 3, hal.266.

[30] Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 31-32.

[31] Hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak
[32] Lih.pandangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Harian al-Jazirah, loc. cit
[33] HMA. Sahal Mahfud “peran hukum islam dalam menciptakan masyarakat madani indonesia” paper dalam di IAIN walisongo semrang pada tanggal27 september 2001
[34]  Ibid hal 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar