QONUN WA TAQNIN
(PERHELATAN DUNIA KONSTITUSI DI INDONESIA)
OLEH : SYAMSUL FALAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ada keresahan intelektual, ketika kita
menyaksikan dikotomi yang terlalu tajam antara istilah “hukum islam dan hukum
umum yang identik dengan hukum positif jadi ada ungkapan “hukum islam
versus hukum umum atau hukum islam
versus hukum positif dilkotomi ini semakin parah ketika kuemudian mempunyai
daerah daerah masing[1]
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan
berkesinambungan, baik melalui saluran infrastruktur politik maupun
suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak
bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Bukti
sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan
masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya.
Semoga hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
Fenomena qonun dan wacana taqnin al-ahkam dalam hukum Islam
merupakan salah satu persoalan yang memicu kontroversi luas di kalangan umat
Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula kubu yang menentangnya, bahkan
dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin al-ahkam termasuk wacana
yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin hukum-hukum Islam
juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk Orde Reformasi seiring
dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai daerah. Banyak perda-perda
syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling banyak menyita perhatian,
tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan undang-undang (qanun) Syariat
tentang beberapa hal tertentu.
Fenomena perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan
baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang
memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal
juga dengan gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda,
terutama perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah
terhadap domain privat masyarakat.
Dengan hal tersebut
penulis mencoba menguak ada apa di balik qonun dan proses pen-Taqnin -an di
indonesia, banyak berbagai hal yang menarik yang perlu di bahas dalam
pembahasan qonun dan taqnin dalam memaetakan dalam membingkai
persoalan-persoalan qonun dan taqnin di indonesia.
Dinamika inilah yang menjadi latar belakang
penulis dalam menulis makalah ini. Harapan penulis, semoga bermanfaat dalam
rangka memperkaya hazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang filsafat hukum
islam yang konsentrasi di pembahasan yang ber tema qonun wa taqnin.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa konsep qonun wa taqnin
2. Apa pengertian qonun dan taqnin
3. Bagaimana potret qonun dan taqnin di Indonesia
C. TUJUAN
1. Mengetahui secara metodologis qonun wa taqnin sebagai penerapan hukum islam
2. Mengetahui hakikat qonun dan taqnin
3. Mengetahui fenomena qonun dan taqnin di indonesia
4. Merumuskan sikap dan pandangan tentang aplikasi hukum islam di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1. TINJAUAN EPISTEMOLOGI
Fiqih Sebagai Formulasi
Hukum Islam (Spirit Pembentukan Qonun)
Secara epistemologi al qur an dan assunah merupakan sumber yang paling
otoratitaif dalam hukum islam, penelaahan bahasa, penalran akal, dan kjain
realitas empiris dengan menggunakan berbagai perspejtif bidang ilmu dalam
uapaya menetapkan hukum islam, semuanaya di tunjukan untuk menarik kesimpulan
dari dua sumber hukum islam tersebut.ketika dua sumber tersebut sudah di
temukan dalam bahan baku sumber –sumber hukum islam tersebut maka di kelolanya
dengan bentuk hukum islam yang secara praksis yang tertuangdalam teks- teks
fiqh. Di dalam sejarah nya istilah fiqh
mengalami perkembangan yang mencakup setidakna tiga fase.[2] Pertama
fiqh berarti faham ( fahm atau understanding ). Fiqh identik dengan makn
ra’yu ( pendapat pribadi dari fuqoha atau ahli fiqh ) . Kedua di artikan
sebagai pengetahuan “ knowladge “ yang menjadi identik dengan pemikiran
tentang agama atau pemikiran tentang agama dan yang ke tiga fiqih berarti suatu
jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan atau ilmu ilmu keislaman yakni
hanya disiplin hukum islam ada yang menyebutnya hukum positif islam atau ilmu
hukum islam.
Istilah ‘Hukum Islam’ sama sekali tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam, yang ada adalah syari’ah, fiqh, hukum Allah atau
yang seakar dengan itu. Dalam literatur hukum dalam Islam adalah syari’ah
Islam, fiqh Islam dan hukum syara’. Dengan demikian, istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia yang diterjemahkan dalam literatur barat secara
harfiah, yaitu Islamic Law.
Mengenai definisi hukum Islam ini, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda
dikalangan ahli hukum Indonesia. Muhammad Hasbi As-Shiddiqiy mendefiniskan
Hukum Islam itu dengan koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melihat definisi yang dikemukakan
Hasbi ini, kita dapat melihat bahwa beliau mendefinisikan hukum Islam dengan makna fiqh.
Amir Syarifuddin, ahli Hukum Islam lainnya
mendefinisikan Hukum Islam itu dengan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa ia mencakup syari’ah dan fiqh
karena arti syara’ dan fiqh terkandung di dalamnya. Dengan demikian, jika ada
yang mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan tetap maka yang
dimaksudkan adalah hukum Islam dalam pengertian syari’ah. Sedangkan jika
dikatakan hukum Islam itu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman
dan masa maka itu adalah hukum Islam dalam pengertian fiqh.
Menurut Pete Seda, Islamic Law atau hukum Islam hanya berasal dari
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang mengatur seluruh aspek kehidupan
umatnya (tentang tata cara menyembah Tuhan dan bagaimana berbuat kepada yang
lain). Melihat statemen ini, maka pengertian hukum Islam dapat disamakan dengan
syari’at Islam, namun dalam prosedur tataran aplikatif. Jadi, Hukum Islam itu,
dalam bahasa Mohammad Daud Ali (1996) , mempunyai dua istilah kunci yakni (a)
syari'at dan (b) fikih. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi
Muhammad dan fikih adalah hasil
pemahaman manusia tentang syari'at.Dengan kata lain, Hukum Islam merupakan
hukum yang ditetapkan atas keduanya ( syari’ah dan fiqh ) tentang perilaku umat yang beragama Islam.
A. Fiqih Sebagai Ilmu Hukum
Secara lebih populer fiqh biasanya di definisikan dengan : al ilm bil
ahkam alsyariyyah alamaliyyah almuktasabah min adilatiha al tafsiliyyah ( Ilmu
yang mempelajari hukum-hukum syar’i yang
berkaitan dengan perbuatan atau tindakan ( bukan aqidah ) yang ditetapkan
dalil-dalilnya yang spesifik.[3] Fiqih
juga di definiskan oleh abu ishhaq asyaerozi yaitu mengetahui ( menemukan )
hukum syar’i yang caranya dengan ijtihad [4], setelah
menjadi suatu disiplin tersendiri istilah fiqh biasanya di artikan dengan hukum
islam atau ada yang menyebutnya dengan hukum positif islam. Secara umum yang
paling tepat adalah ilmu hukum islam (islamic yurisprudensi) yang memuat yang
berupa hukum materi hukum bahkan juga prosedur dalam proses di pengadilan ( hukum
acara, fiqh murofaat) seperti dalam definisi yang menyebutkannya sebagai
kumpulan hukum.[5]
B. Fiqih sebagai norma hukum
Dalam realitasnya fiqih yang di hasilkan para ulama selama ini umumnya
merupakan pemahamanan dan interpretasi para ulama terhadap Ahkam Assyariyyah
dan bukan terhadap syariah itu sendiri. Hukum Islam atau fikih sebagai norma
hukum ini dengan demikian merupakan dielektika antara adat kebiasaan yang ada
dalam masyarakat ( termasuk hukum adat
dan hukum positif yang berlaku ). Perlu adanya penegasan fiqih sebagai norma
hukum ini adalah karena sebagaimana di kemukakan fiqih di samping memuat norma
hukum juga masih kental dengan dengan muatan norma moral. Memang pada dasarnya
aturan hukum dalam Islam adalah untuk menegakan nilai moral yang di kandungnya,
namaun apabila norma moral yang menonjol maka terkadang akan mengesampingkan
penegakan aturan hukum itu sendiri misalnya dalam kitab fiqih dan mungkin dalam
beberapa aturan perundangan kebolehan berpoligami ( berdasarkan Q.S An-Nisa (4)
ayat 3 di tetapkan sebagai aturan hukum yang positif namun syarat adil untuk berpoligami hanya di
pandang sebagai anjuran moral semata sehingga kemudian keadilan tersebut di
pandang sebagai anjuran moral saja.
Dalam konteks indonesia, maka fikih sebagai norma hukum Islam merupakan seperangkat
aturan sebagai hasil dialektika antara nilai-nilai syariah dengan adat
kebiasaan masyarakat indonesia,[6] yang di
rumuskan secara sadar dan sengaja untuk mewujudkan ketertiban dalam
masayarakat. Aturan hukum Islam di Indonesia tersebut di samping secara
filosofis harus memuat dan sesuai dengan
nilai-nilai syariah, juga secara sosiologis harus sesuai kondisi sosial budaya
masyarakat sekitar.
C. Objektifikasi Hukum Islam
Di Indonesia
Syariah Nabi Muhammaad yang bersumber dari alqur an dan as-sunah adalah
pedoman dan petunjuk hidup ( hudan lin nas ) dan menjadi rahmat bagi
seluruh alam semesta ( rahmatan lilalamin )[7]
ini berarti bahwa syariah pada dasarnya tidak hanya berlaku pada orang orang Islam
saja tetapi berlaku untuk seluruh manusia dan menjadi rahmat bagi semua. Norma
hukum Islam, merupakan derivasi dari syariah juga seharusnya demikian, yaitu
tidak hanya menjadi pedoman dan berlaku untuk orang islam tetapi juga umat
lainnya.[8] Hanya
saja hukum Islam sebagai mana di kemukakan adalah hasil dari dialektika antara
nilai-nilai syariah yang ideal dengan kebiasaan masyarakat lokal yang berlaku,
sehingga antara satu tempat dengan tempat lain atau satu negara dengan negara
lain bisa saja hukum Islam nya berbeda karena adanya perbedaan kondisi sosial
dan budaya masing-masing. Untuk memberlakukan dan memaksimalkan kontribusi
hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional, formulasi hukum Islam tidak saja
harus sesuai dengan kondisi sosial budaya Indonesia, tetapi juga harus di
terima oleh mayoritas warga negaranya. Karena itu hukum Islam harus bersifat
objektif dalam arti bahwa rumusan hukum Islam tersebut dapat di terima oleh
semua warga negara karena memang di pandang sesuai oleh mereka.
Objektifikasi hukum Islam dengan
demikian tetap memandang hukum Islam sebagai sumber, namun untuk dapat menjadi hukum Yang di
undang-undangkan, hukum Islam harus di objektifikasikan terlebih dahulu dengan
melibatkan seluruh warga negara yaitu melalui perwakilan yang ada di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melakukan objektifikasi hukum Islam, atau dengan
kata lain untuk menjadikan hukum Islam bersifat objektif sehingga dapat di
terima oleh seluruh warga negara Indonesia dan pada gilirannya dapat di jadikan
sebagai hukum Nasional, maka perlu di rumuskan metodologi pen-taqnin-an yang
sistematis yang dapat mendialogkan antara nilai-nilai yang terkandung dalam
alqur an dan as sunah sebagai sumber hukum Islam dengan realitas masyarakat
yang akan di terapkan dalam hukum tersebut.
Melihat apa yang di
paparkan di atas maka secara tinjauan epistemologi dan methodologi nya melihat
teori-teori yang di kembangkan di atas berarti kanun atau qonun (undang-undang
yang ada ) mempunyai spirit dan values yang di ambil dari fiqih yang
pembahasannya lebih kepada hukum-hukum yang sudah di ijitihadi oleh para ulama kemudian
menjadi sandaran oleh para qodly dalam merumuskan fiqh ke dalam qonun dalam
sebuah negara.
2. TINJAUAN ONTOLOGI
A. QONUN ( hakikat Qonun )
1.
Pengertian Qonun
Kanun atau qonun berasal
dari bahasa yunani yang masuk menjadi bahasa arab melalui bahasa suryani, yang
berarti “ alat pengukur ‘ kemudian berarti ‘kaidah” dalam bahasa
arab kata kerjanya qonna yang artinya membuat hukum ( to make low, to legislate
). Kemudian kanun dapat berarti hukum ( law ), peraturan ( rule,regulation ),
undang-undang (statute, code). Dalam buku nya al-ahkam al shultoniyyah
yang biasa di terjemahlkan dengan “ hukum tata negara dalam Islam” AL Mawardi
(W.450/1058) sudah memakai qonun dalam beberapa kesempatan yang berarti
mempunyai konotasi atau spesifikasi yang tidak selalu sama, umpamanya qowanin
al syahsiyyah ( ketentuan hukum dalam wilayah politik atau hukum publik ) hifzh
al syar iyyah wa harasat al ahkam ad diniyyah ( menjaga hukum publik yang
berdasarkan syariah dan memelihara hukum agama ) Al qowwanin muqorrarah
(undang-undang ).[9]
Dengan adanya penggunaan
istilah qonun oleh Mawardi, maka anggapan bahwa istilah qonun baru mulai di
pakai masa modernisasi ( tanzimat ) di Turki dengan adanya al
majallah al ahkam al adliyah ( arti leterleknya kitab hukum keadilan / the
book of rules of justice ; atau sering di artikan dengan civil code ) itu tidak tepat. Namun bahwa istilah qonun
itu sangat populer sejak penggunaanya di Turki tidak dapat di tolak. Memang
majalah itu merupakan contoh paling awal tentang hukum Islam dengan bentuk
undang-undang ( hukum modern model law
system ) yang sekaligus mempunyai kekuatan
memaksa seperti undang-undang yang secara umum. Di sini pada umum nya
istilah qonun di pakai hukum yang berkaitan dengan masyarakat bukan ibadat,
khususnya undang-undang atau hukum publik. Di samping qonun berarti hukum atau
hal-hal yang berisi hukum, qonun juga berarti pendaftaran dan list ( daftar )
rekaman pajak tanah ( registers and list recording land-taxes)
Dalam penggunaaanya,
mahmassani menyebutkan bahwa qonun mempunyai tiga arti :
1. Kumpulan
peraturan-peraturan hukum atau undang ( kitab undang-undang). Istilah ini di
pakai qonun pidana usmani ( KUH pidana turki usmani), qonun perdata lebanon
(KUH Perdata Lebanon), Dan lainnya.
2. Istilah yang merupakan
padanan dengan hukum. Jadi kita dapat menggunakan istilah ilmu qonun sama
dengan ilmu hukum. Qonun Inggris sama dengan hukum Inggris, qonun Islam sama dengan hukum Islam,
dan lainnya.
3. Undang-undang. Perbedaan
pengertian yang ke tiga ini dengan pengertian pertama adalah bahwa yang pertama
lebih umum dan mencakup banyak hal,\ sedangkan yang ketiga khusus untuk
permasalahan tertentu. Umpamanya qonun perkawinan sama arti nya dengan
undang-undang perkawinan. Dapat juga di di pakai untuk ungkapan “ DPR dan Pemerintah
sedang menggodog qonun tentang larangan minuman keras”. Qonun dalam pengertian
ini hanya mengenai hukum yang berkaitan dengan muaammlat, bukan ibadat, dan
mempunyai kakuatan hukum yang pelaksanannya tergantung negara. Disini beda
dengan pembahasan hukum islam pada umumnya yang biasanya selalu mencakup muammalat
dan ibadat[10]
Sebagai istilah yang mempunyai
pengertian yang sama dengan undang-undang , maka qonun ini mempunyai kekuasaan
atau kekuatan untuk pelaksanaanya, persis seperti undang undang. Yaitu, ada
pelaksanaan dan penegak hukum, ketika sudah mencapai putusan hakim di
pengadilan. Negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan
hakim tadi.
Dalam sejarahnya , di Turki
Istilah qonun ini di pakai pada abad 19 untuk hukum atau undang-undang yang mengatur segala jenis hukum sekular yang
biasanya berasal dari pengaruh model eropa.[11]
Meminjam istilah mahassami, sebagai berikut :
Pada zaman usmani
kata-kata qonun sering di pakai istilah hukum untuk aturan-aturan hukum
yang di buat oleh negara yaitu untuk membedakan antara hukum syariah, terutama
dalam hal bilamana terdapat perbedaan hukum pada masalah tertentu antara kanun
dengan syariah. Misalnya ketentuan larangan riba menutut syariah dimana
undang-undang membolehkan pemungutan bunga bank.[12]
Dalam perkembangannya,
qonun dapat lah kita identikan dengan undang-undang di negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, yang berupa :
1. Mengatur hal-hal yang
berkaitan antara sesama manusia ( terutama sekali masuk wilayah muammalat atau
keduniaan ) sangat jarang mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
, yang mahdloh ( murni ).
2. Berisi hukum Islam yang
sudah jelas ketentuan pokok ketentuan dari nash nya dan dalam waktu bersamaan
kebijakan publik atas dasar urf, istihsan, atau mashlahah. Pada
mulanya qonun di teorikan bahwa qonun itu untuk mengatur hal-hal yang belum ada
ketentuan hukum di dalam syariah, namun
perkembangan berikutnya lebih menekan kan pada Istihsan dan mashlahah yang juga
mendasarkan urf. Dengan demikian
qonun berarti mengislamkan ketentuan yang asalnya tidak secara murni dari
Islam karena adat kebiasaan dan semacamnya. Di sini sangat terbuka untuk
terjadinya pengaruh dari hukum dari sistem lain, baik dari roman law system
maupun dari camon law system.
3. Qonun sekaligus berarti
telah memilih salah satu dari sekian
banyak perbedaan pendapat ( ihktilaf ) dikalangan ahli hukum Islam ( mujtahidin
/ fuqoha ) untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh masyarakat, terutama
ketika qonun ini merupakan produk lembaga legislatif, maka qonun juga berarti
mempunyai nilai konsesus atau ijma, meskipun di anggap terbatas hanya pada negara tertentu saja.
4. Dalam beberapa hal terkadang
melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan
umum ( mashlahah mursalah ) dengan dalih siyasah syar’iyyah ( politik
hukum ). Dengan alasan terkadang
kepentingan negara atau bahkan
pemerintah nampak menonjol. Disini sering terjadi konflik antara pendukung
konsep qonun yang terkadang dengan alasan reinterpretasi terhadap hukum Islam di
pahami selama ini para Ulama yang mengikat kan dirinya untuk konsistensi
terhadap hukum yang mereka pahami selama
ini. Dalam suasana seperti ini pula ketika qonun pertama kali di Turki muncul.
5. Berupa undang-undang resmi
produk Lembaga Legislatif atau lembaga Eksekutif yang mempunyai Legislatif.
Dalam sejarahnya memang tidak selalu bernama undang-undang dan juga tidak
selalu produk legislatif, namun dapat berupa titah raja atau penguasa. Dengan
demikian, maka qonun mempunyai kekuataan mengikat dan sekaligus jika sudah di
putuskan akan ada alat negara untuk eksekusi terhadap putusan atas dasar qonun
tersebut.
Atau dapat di sederhanakan
bahwa qonun adalah undang-undang yang di klaim berisi hukum Islam, seperti
dengan menggunakan alasan istihsan, urf atau mashlahah, dan siyasah
syariyyah. Dengan demikian, maka ketentuan hukum yang ada di dalamnya
menjadi bernilai Islam, di satu sisi, dan mempunyai kekuatan yang didukung oleh
negara , disisi lain. Dalam praktik, tidak jarang nuansa syiyasah syar’iyyah
sangat menonjol, yang tidak lepas dari kepentingan politik penguasa pada
masanya. Ketika qonun di teorikan seperti ini, maka kalau kita memberi contoh
dari Indonesia adalah Undang-undang NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[13]
2.
Macam-Macam Qonun Di Indonesia
Dalam kenyataan lebih
konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara
formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a.
UU RI No. 1/1974
tentang Hukum Perkawinan
b.
UU RI No. 7/
1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3,72006
c.
UU RI No. 7/1992
tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi hasil
d.
UU RI No.10/1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang
membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
e.
UU RI
No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Ají
f.
UU RI No. 38
TAHUN 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
g.
UU RI No. 44/1999
tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
h.
UU Politik Tahun 1999
yang mengatur ketentuan partai Islam
i.
UU RI No. 16 TAHUN 2001
Tentang Y A Y A S A N
j.
UU RI No 41 TAHUN
2004 Tentang Wakaf
k.
UU RI No 3 TAHUN
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
l.
UU RI No 19 TAHUN
2008 tentang surat berharga syariah negara
m.
UU RI No 21 TAHUN
2008 Tentang Perbankan Syariah
n.
UU RI No. 13 TAHUN 2011 Tentang pengelolaan Zakat
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat
peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a.
PP No.9/1975 tentang
Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
c. PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum
Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang
Peradilan Agama. Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal
sejak masa penjajahan ( Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde
Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai
undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui
kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat
Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat
Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde
Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga
disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai
sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam
seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam
proses Islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin
membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem
hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan
kehilangan arah, agar ia etap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam
membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas
sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang
ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh
Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting
terutama dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain,
adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum
Islam, bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan,
tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah
yang cukup lama.
TINJAUAN AKSIOLOGI
3.
Fungsi Qonun ( Qonun Sebagai
Manifestasi Masyarakat Yang Ideal )
Hukum islam yang sudah di
qonun kan dalam tata hukum di indonesia selama ini hanya berkiprah di bidang hukum perdata (islam), khusus
nya di bidang keluarga. [14]
sementara dalam bidang hukum lain, hukum islam
dapat di katakan belum memberiakan kontribusi apa pun bagi perkembangan
hukum positif di indonesia, sehingga seakan-seakan bidang hukum tersebut bukan
menjadi urusan umat islam indonesia. Padahal, sebagaimana di kemukakan dalam pendahuluan bahwa ajaran isla, termasuk
bidang hukum nya, padadasarnya adalah menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia
bahkan alam semesta. Ini berartiseharusnya norma hukum islam dalam berbagai
bidangnya tersebut dapat sesuai bagi seluruh umat manusia dan tidak hanya
khusus bagi umat islam yang tentu saja dalam pelaksanaanya meyesuaikan dan
kebutuhan masyarakat stempat.
Produk per undang-undangan yang bahannya berasal hukum
islam tersebut adalah undang-undang oerkawinan undanmg –undang peradilan agama
kompilasi hukumn islam, undang-undangbtentang penyelengaraaan haji,
undang-undang tentang pengelolaan zakat. Undang-undang tentang wakaf, undang
tentang perbankan syariah kecuali undang-undang tentang penyelengaraan ibadah
haji, semuanay berkaiatan dengan hukuim
perdata islam yang kewenangannya di tangani oleh pengadilan agama.
Terhitung sejak tahun
1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum
Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga
fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase
antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa
strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan
negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang
bernuansa hukum Islam.
Konsepsi negara
berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ) memiliki muatan ciri-ciri berikut
;1).Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia;
2). Prinsip
pemisahan/pembagian kekuasaan;
3). Pemerintah berdasar
undang-undang;
4). Prinsip Keadilan;
5). Prinsip
kesejahteraan rakyat.
Untuk menemukan ini
dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. pintu lebar bagi
islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia
Berkenaan dengan itu,
maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu
mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian
diubah arahnya yakni secara kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan
perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi
(taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam,
umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun
material menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam
proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana
asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan
perundang-undangan; Ketiga,hukum Islam yang secara formil dan material
ditransformasikan secara persuasive source dan authority
source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia
semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam
bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya
pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah
diundangkannya Undang Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu:
Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral
dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi
terciptanya norma fundamental negara Pancasila ); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran
Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan
Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga
alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara
yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU
No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960,
UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu No.l /SD 1946 dan No.5 / SD 1946, PP. No.10/1947
Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP.
No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU
No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan UU No.7/1989 tantang peradilan Agama.
B.
TAQNIN
a. Pengertian Taqnin
Secara etimologis, kata taqnin ( تقنين )
merupakan bentuk masdar dari qannana ( قَنَّنَ ),
yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa
Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar
dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan
atau cara (thariqah).[15] Secara
terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan
kaidah-kaidahpenetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah
hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan
atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib
para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[16]
b.
Sejarah Awal Taqnin
al-Ahkam
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Nabi Muhammad
pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik
antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut
merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh
pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya,
upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga
dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu
al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai
seorang zindiq.[17]
Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin
dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia
mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan
mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[18]
Usul Ibnu al-Muqaffa
kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah
bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama
diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun,
Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa
dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan
banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan
mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di
tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini apa yang
mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa
adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan
kondisi mereka.”[19]
Di dua abad terakhir
ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin
al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun
oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang
berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa
al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah
hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun
1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya
berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan
negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini
kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di
masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui
dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz,
Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga
menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari
berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan
dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Namun para ulama saat itu
ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[20]
C.
Potret Fenomena Taqnin ( PRO dan Kontra Taqnin )
1. Dasar Pemikiran Taqnin di Kalangan
Ulama Klasik
Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama
klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan
tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang
mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar
pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama
melarang dan kedua membolehkan.
Menurut kelompok
pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada
satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan
pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid
Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak
diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati
pandangan tersebut.[21]
Para ulama yang
melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti
ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad:
26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran
justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[22]
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan
hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada
mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang
jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka
bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan
pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda
pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain
mengambil penn pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.”[23]
Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh
mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu
perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang
oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti
yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili
dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika
penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada
tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut
adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk
memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak
boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang-undang yang telah disahkan
penguasa.
Dari uraian di atas,
tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh
mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab
dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari
perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia
wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah
milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam
ayat Alquran:
Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka
putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[24]
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ .
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
2. Para Pendukung Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mayoritas para ulama
besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka
adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’,
Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14] Selain mereka, yang juga bisa disebut
sebagai pendukung taqnin adalah Musthafa az-Zarqa,[15] Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif,
Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.[25]
Di antara dalil yang
mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:
- Firman Allah Surah an-Nisa: 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[26]
Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut, jika
pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan
perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi
rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini,
keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat.
Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang dimana mereka memang
diwajibkan untuk mengikutinya adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah
sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.[27]
- Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]
- Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
- Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.
- Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
- Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[28]
2. Para Penolak Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mereka yang menolak taqnin
dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama
besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah Syaikh Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[29] Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin,
Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman,
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[30]
Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran,
as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.
1. Allah telah memerintahkan untuk memutuskan
perkara dengan adil (al-qisth) dalam firman-Nya:
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)
Dan jika kau memutuskan
perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth).
Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah:
42).
Kata al-qisth berarti
adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa
yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan
undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.
2. Dalam menetapkan hukum, seorang hakim
harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk
mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan prinsip tauhid,
yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu karena sang hakim yang menaati
undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh
manusia biasa yang tidak ma’shum daripada pendapat Rasulullah yang mas’hum.
Padahal Allah juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Hujurat: 1).
3. Sabda Rasulullah SAW:
Hakim itu ada tiga
macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk
surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran
tersebut. Dua, hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan
berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang
memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim
ini juga masuk neraka.”[31]
Hadis di atas merupakan
ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran
yang ia yakini. Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak
demikian.
4. Mengharuskan para hakim untuk memutuskan
berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang telah ditetapkan untuk
mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di zaman
Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang salaf yang saleh.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti itu terjadi di zaman
Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur mengusulkan kepada Imam
Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan demikian, wacana taqnin adalah
sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.
5. Undang-undang hukum positif yang
diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai negara, ternyata sering
kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Keputusan-keputusan pengadilan
sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, penetapan
undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi
kesalahan dan kontradiksi.
6. Keharusan untuk mengadakan taqnin akan
justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan keputusan.
7. Perselisihan dalam masalah hukum merupakan
sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah ar-Rasyidin dan para salaf saleh.
Bahkan terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip.
Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini
tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan
hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimana pun,
orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga
kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda
pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan
kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Bagaimana pun, pada
prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu
pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.
8. Ketika melongok kepada berbagai kitab
fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak perbedaan pendapat.
Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad
masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka, tetap mereka
memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang
ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk meluruskannya
dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat,
bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang
bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru
akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[32]
Analisis Taqnin Di Indionesia (Formal Vs Kultural)
Kalau kita amati, masyarakat Indonesia khususnya
para tokoh di Indonesia yang terlibat dalam pembahasan mengenai hukum Islam,
setidaknya ada dua kelompok yang menekankan pada pendekatan normatif atau
formalisme dan kelompok yang menekankan pada pendekatan kultural (budaya).
Pendekatan ini sebagai perwujudan kehidupan politik dari masing-masing kelompok
; atau justru sebaliknya, yakni bahwa cerminan politik mereka sebagai wujud
keyakinan terhadap jenis pendekatan tersebut. Hal ini juga sekaligus sebagai
jawaban dari pertanyaan bagaimana cara menerapkan hukum Islam, ketika kita
sepakat bahwa hukum Islam merupakan salah satu dari tiga bahan baku dalam
pembinaan hukum nasional, disini akan ada dua pendekatan yaitu : formal dan
kultural, sebagai berikut :
Pertama, pendekatan
formal atau normatif. Menurut pendapat ini, hukum Islam harus di terapkan
kepada mereka yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat atau sudah masuk
islam. Istilah “positivisasi hukum islam
“ tidak akan populer, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama islam harus
dengan serta merta menjalankan atauu di pakasakan untuk meneriama hukum islam
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu proses kehidupan politik, termasuk
paratai politik, adalah dalam rangka atau sebagi alat untuk menerapkan hukum
islam secara normatif dan formal ini. Konsekwensinya, pelaksanaan harus selalu
di perjuangkan,oleh karena meruapakan satu-satunya cara untuknpenerapan hukum
islam secara forml kalau perlu di pakasakan di negara di indonesia. Jika di
tarik lagi dari sisi ekstrimitas, pendekatan ini menjadi skripturalisndan
tekstualis yang biasanya kurang mempertimbangkan kontekstual dan lingkungan
sosiologis. Pada dasarnya pendekatan normatif saja tidak selalu jelek, oleh
karena akan dapat di posisikan sebagai pengontrol. Namun, jika berlebihan akan
sampai pada skriptualis dan pemakasaan tadi. Sampai batas ini, upaya
posivitasasi tidakmerupakan jawabannya. Oleh karena cenderung pada pemaksaan
secara formal ideologis. Dan jika pendekatan ini di terapkan sering ada
persoalan yang muncul, yaitu hukum islam yang mana? Pertanyaaanya ini sangat
serius, terutama sekali ketika dapat kita temukan terjadinya perbedaan pendapat
tentang hukum islam itu sendiri. Hal-hal seperti inilah yang sering terjadi
sebagai ekses upaya pengislaman di
beberapa negara timurtengah yang kemudian tidak pernah selesai. Tampaknya,
pertanyaan tentang hukum islam yang mana yang akan di terapkan, seandainya
perjuangan menerapkan piagam jakarta itu berhasil, ini bukan masalah kecil,
namun dapat menjadi masalah serius.
Kedua. Pendekatan
kultural. Menurut pendapat ini , yang terpenting bukan formalisme penerapan
hukum Islam atau dengan pendekatan normatif ideologis. Namun, penyerapan
nilai-nilai hukum islam ke dalam masyarakat itulah yang justru lebih penting.
Barang kali dapat kita jadikan salah contoh pendekatan yang kedua ini adalah
ungkapan KH.MA. Sahal Mahfudh, ketua Umum MUI pusat dan Rois Amm PB NU,
Mengenai hukum Islam dalam kerangka hukum nasional. Menurutnya, terciptanya
hukum yang ideal dalam masyarakat madani. Dengan demikian, harus dimulai dengan
menyerap nilai-nilai hukum universal tersebut diatas dalam kerangka
kemasyarakatan yang proporsional”. Nilai-nilai hukum universal yang di
maksudkan itu meliputi keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum,
perlindungan hukum terhadap masyaraakat tak seagama, dan menjujung tinggi
supremasi hukum Allah. Maksudnya adalah bahwa nilai tersebut harus di upayakan
tertanam dan terimplementasikan dalam segala unsur masyarakat pendukung nya
‘.dengan istilah penyerapan nilai maka berarti bahwa prosesnya itu bersifat
kultural, bukan pemaksaan secara normatif tadi. Dengan pendekatan secara
kultural seperti ini, KH. Sahal yakin “ akan memperkecil kendala yang ada pada
tahap implementasi”. Oleh karena itu, menurut KH Sahal labelisasi yang sering
muncul menimbulkan sikap anti pati dan kecurigaan dari masyarakat juga
hendaknya di minimalkan “. KH. Sahal juga mengatakan bahwa menciptakan masyarakat madani dalam konteks ke
Indonesiaan dari kaca mata hukum islam, dengan demikian tidak “dengan atau
“tanpa hukum islam, namun lebih kepada mempertimbangkan dan menyerap
nilai-nilai moral positif yang terkandung dalam hukum islam itu sendiri.
Menerapkan hukum islam dalam arti formalisasi hukum islam terkadang belum merupakan solusi yang
terbaik bagi proses formulasi hukum yang
ideal bagi sebuah masyarakat yang madani. Demikian pula eliminasi hukum-hukum
yang ada dalam masyarakat, khususnya hukum islam dalam proses tersebut juga
baukan merupakan langkah yang bijaksana, karena bagaimanapun keberadaanya, baik
sebagai sebuah nilai maupun sebagai sebuah peraturan yang berlaku tetap
mendapatkan legitimasi yang kuat dalam masyarakat indonesia, terutama hukum
islam, harus tetap di biarkan leluasa. Ini untuk merangsang agar hukum-hukum
tersebut bisa lebih berkembang dinamis yang pada gilirannya juag akan memberikan
sembangan yang dinamis pula perkembangan hukum indonesia secara keseluruhan.[33]Dari
uraian tersebut jelaslah posisi dan upaya serta pendekatan yang di lakukan oleh
kelompok kedua atau kelompok kedua ini ungkapan dan sekaligsu pendekatan
pertama tersebut dapat di katakan berlebiahan
D.
Tawaran Konsep Taqnin Di Indonesia
Qanun
adalah hasil dari positivasi hukum tidak tertulis menjadi hukum
tertulis. Fikih dan fatwa dalam konteks keindonesiaan termasuk hukum tidak
tertulis; namun ia bisa dikembangkan oleh pihak-pihak regulator menjadi hukum
tertulis karena kewenangan istimewa yang dimilikinya (asas deskresi)
berdasarkan peraturan perundangan. Proses pengubahan fikih dan fatwa menjadi
qanun atau undang-undang/peraturan disebut taqnin. Proses taqnin yang dimaksud mencakup: Pembentukan
peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum, Penelitian atau pengkajian hukum yang dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan
perundang-undangan, pengundangan atau penempatan peraturan
perundang-undangan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita
Negara, dan Tambahan Berita Negara.
Metodologi
fiqih indonesia bisa di gagas dan para pemikir yang ada lebih memokuskan pada
formulasi dan pemberlakuan hukum islam khusus bagi orangislam ,indonesia
sehingga hukum islam belum maksimal dalam memberikan kontribusi bagi pembentukan
aturan-aturan atau rancangan-rancangan perundangan nasional yang akan di
berlakukan bagi semua warga negara.dalam rangka pengembangan metodologi fiqih
indonesia ini di perlukan landasan konseptual tersebut adalah reinterpretasi
terhadap relasi istilah-istilah addin (agama, syariah, dan fiqih dengan
menambahkan istilah hukm-hukum partikular islam.
Berangkat
dari konseptul tersebut langkah-langkah yang di tempuh bagi fiqih indonesia
adalah : Pertama, dialektika secara kritis di anara ahkam syariah(teks
partikular yang berisi aturan praktis), illat (kausa hukum0 hikmah (
signifikasi hukum) Annadhoriyyah al ammah (azaz-azaz hukum) maqosidu
syariah(tujuan dasar syariah) analisis ini satu langkah yang bersifat normatif
deduktif. Kedua yang di butuhkan dalam menganalisis permasalahan hukum
tersebut adalah langkah yang bersifat empiris-induktif yaitu menganalisis
permasalahan yang di kaitkan denganrealitas, pandangan, dan praktek di
masyarakat, dalam hal ini urf indonesia, melalui penelitian lapangan aktual
yang bersifat induktif Kemudian langkah, ke tiga adalah
mendialektikakan secara kritis antara
ketetapan hukum normatif-idealis dan realitas empiris di masyarakat. Kemudian
langkah ke empat adalah dialektika tersebut di objektifikasikan dengan
konteks indonesia yang bhineka.[34]
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai pembahaasan qonun dan Taqnin
tersebut sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1.
Spirit
qonun dan proses pembentukan qonun atau pentaqninan (perundang-undangan) adalah
merupakan spirit fiqih
2.
Untuk dapat menjadi hukum
Yang di undang-undangkan, hukum Islam harus di objektifikasikan terlebih dahulu
dengan melibatkan seluruh warga negara yaitu melalui perwakilan yang ada di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melakukan objektifikasi hukum Islam
3.
Produk per undang-undangan
yang bahannya berasal hukum islam tersebut adalah undang-undang perkawinan
undang –undang peradilan agama, kompilasi hukumn islam, undang-undang tentang penyelengaraaan
haji, undang-undang tentang pengelolaan zakat. Undang-undang tentang wakaf,
undang tentang perbankan syariah
4.
Kontroveesi tentang potrait
pentaqninan hukum islam menuju hukum nasional sampai saat ini masih menjadi
perbedaan yang memunculkan aliran formal vs kultural
5.
Konsepsi
negara berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ) memiliki muatan ciri-ciri
berikut : perlindungan Hak Asasi Manusia, Prinsip pemisahan/pembagian
kekuasaan, Pemerintah berdasar undang-undang; Prinsip Keadilan,Prinsip
kesejahteraan rakyat.
6.
Harus
ada berbagai pendekatan yang harus di usahakan oleh para pemikir dan penggagas
hukum islam ke dalam hukum nasional Pendekatan yang harus di lakukan meliputi Pertama,
dialektika secara kritis diantara ahkam syariah (teks partikular yang berisi
aturan praktis), illat (kausa hukum hikmah ( signifikasi hukum) Annadhoriyyah
al ammah (azaz-azaz hukum) maqosidu syariah(tujuan dasar syariah) analisis ini
satu langkah yang bersifat normatif deduktif
7.
Kedua
yang di butuhkan dalam menganalisis permasalahan hukum tersebut adalah langkah
yang bersifat empiris-induktif, ke tiga adalah mendialektikakan secara kritis antara ketetapan hukum
normatif-idealis dan realitas empiris di masyarakat. Kemudian langkah ke empat
adalah dialektika terebut di objektifikasikan dengan konteks indonesia yang
bhineka.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Qur an
Al Hadist
Prof. A. Qodri
Azizi, Phd Hukum Nasional ‘Elektisitas hukum islam dan hukum Nasional, Kemenag
RI, Cet 1 2011
Agus Moh.
Najih, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia, Jakarta, Teraju, Cet 1
2004
Ibnu Kasir, Al-Bidayah
wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.
Al-Bassam, Taqnin
asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu, Damaskus,Dar
Al Kutub, tt
Sahal Mahfud
“peran hukum islam dalam menciptakan masyarakat madani indonesia” paper dalam
di IAIN Walisongo 2001
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.
Beirut. Dar Al Fikr, tt
Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa
an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.
[3] Abd wahab khallaf, “ilmu
ushul fiqh (kuwait : dar al qolam,
19780)
[6] Ibid 149
[7] Dalam Q. S. Saba' 34 ayat 28
[8] Islam sebagai ilmu : epistemilogi,
metodologi dan etika (bandung :teraju, 2005)
[9] Al-mawardi, al ahkam al shultoniyyah al
wilayatuddiniyyah (kairo : mushtofa al babi al halabi)
[10] Subi mahassami filsafat hukum dalm islam (bandung
almaarif, 1981)
[11] Encyclopedia, IV :558
[12] Mahassami, filsafat, 232
[13] Islamic law indonesia, mark cammack vol
38,hal 53-54
[14] Pengembangan metodologi fikih indonesia
dan kontribusinya bagi pembentukan hukum nasional, agus muh najih
[16] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal
al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.
[18] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha
fi al-Islam, hal. 115.
[20] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa
al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.
[24]QS: an-Nisa: 58
[31] Hadis dari Buraidah yang
diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak
[33] HMA. Sahal Mahfud “peran hukum islam dalam
menciptakan masyarakat madani indonesia” paper dalam di IAIN walisongo semrang
pada tanggal27 september 2001
[34] Ibid hal 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar